Pesantren Shafiyah Banyuwangi; Potret Pelestarian Lingkungan dengan Gerakan 'Pakai yang Ada'
Sabtu, 30 Maret 2024 | 10:00 WIB
Kiai Abdul Aziz dan Nyai Nurun Sariyah, pengasuh Pesantren Shafiyah Banyuwangi meraih penghargaan Gaharu Bumi Innovation Challenge 2024 (Foto: istimewa)
Banyuwangi, NU Online
Tak ada rotan, akar pun jadi. Peribahasa ini kiranya tepat disematkan kepada mereka yang secara kreatif memanfaatkan barang bekas dan sampah menjadi berkah. Seperti yang dipraktikkan Pondok Pesantren Shafiyah di Banyuwangi hingga akhirnya menerima penghargaan level nasional pada ajang Gaharu Bumi Innovation Challenge.
Sang pengasuh, Kiai Abdul Aziz dan Nyai Nurun Sariyah menginisiasi gerakan yang diberi nama 'Pakai yang Ada' Di pesantren yang beralamat di Dusun Sidomulyo, Desa Gitik, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, itu mereka menanamkan pendidikan peduli lingkungan kepada para santri dengan mengurangi belanja, lalu memaksimalkan barang yang tersedia di sekitar.
Prihatin dengan membludaknya sampah
Pasangan muda alumni Ma’had Aly Situbondo ini prihatin dengan besarnya volume sampah yang dihasilkan tiap orang di Indonesia. Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022), tiap orang menghasilkan sampah 0,68 kilogram per hari dan sisa makanan senilai Rp2,1 juta per orang per tahun.
"Jika di pesantren kami ada 70 santri, itu berarti ada 47 kilogram sampah per hari atau sisa makanan terbuang senilai Rp147 juta per tahun," kata Nurun saat melakukan presentasi publik pada perhelatan Gaharu Bumi Innovation Challenge yang digelar Ashoka dan Kok Bisa di Jakarta, 2 Maret 2024.
Menurutnya, jumlahnya jadi berlipat-lipat ketika diakumulasi dari total pesantren di Indonesia yang mencapai 39.167 unit dengan 4,85 juta santri. Artinya, produksi sampah bisa tembus di angka 3.298 ton per hari dan sisa makanan terbuang mencapai nilai lebih dari Rp10 triliun per tahun.
Menyadari negatifnya sampah bagi kehidupan, suami-istri yang mulai merintis pondok pesantren sejak 2014 ini mengisahkan awal menginisiasi gerakan 'Pakai yang Ada' ini dimulai sejak pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, pondok yang mereka rintis sekitar 6 tahun itu menghadapi kesulitan sebagaimana dialami masyarakat pada umumnya ketika itu. Apalagi, tanggung jawab mereka tidak hanya kepada keluarga kecil, namun juga puluhan santri di pesantrennya. Untuk bertahan, berbagai upaya penghematan dilakukan dengan berhemat dan mengurangi pembelian.
Baca Juga
LPBINU Kembangkan Pesantren Hijau
"Saat itu pikirannya bagaimana menjaga dapur agar tetap menyala, tetap masak dan makan dengan sehat. Kami mengubah pola pikir dan perilaku konsumtif dengan memaksimalkan pemanfaatan yang ada," ujar perempuan yang akrab disapa Ummah ini.
Dimulai dari lingkungan terkecil
Dimulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga, mereka memberi teladan baik untuk anak-anak agar bisa kreatif dengan prinsip kreativitas itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan apa yang ada. Contoh kecilnya, membuatkan tugas praktik sekolah sang buah hati dengan memanfaatkan kardus bekas yang disulap menjadi puzzle. Serta, memanfaatkan beras, cangkang telur, dan obat kadaluarsa sebagai vitamin tanaman (anggrek).
Pelan-pelan, budaya 'Pakai yang Ada' ini semakin asyik untuk digeluti. Bahkan, keseruan ini juga menular pada buah hati mereka yang seringkali lebih memilih membuat mainan sendiri daripada membelinya. Kebiasaan baik ini pun mulai diimplementasikan. di pesantren yang mereka asuh dengan hal-hal yang sederhana dan mudah.
"Ketika melihat nasi di dapur, kalau dibuang kan sayang maka biasanya diolah jadi cireng, atau kerupuk. Kalau sudah tidak bisa diolah ya dibuat makan ternak," kisahnya.
Selain itu, masih banyak praktik-praktik baik lainnya dengan tujuan melindungi lingkungan. Di antaranya kebiasaan memilah sampah dan memaksimalkan untuk meminimalisir penggunaan plastik dengan membuat kebijakan larangan menggunakan deterjen sachet, kemudian menghemat air, serta menggalakkan sedekah sampah. Hal terakhir ini bahkan diinisiasi oleh para santri sendiri.
Inisiatif sedekah sampah
Para santri berinisiatif membuat program sedekah sampah. Mereka mengumpulkan sampah, memilah dan menjualnya. Hasil penjualan diberikan kepada teman mereka yang dirasa kurang mampu. Hasil pilah sampah yang tidak laku dijual pun dimanfaatkan untuk dekorasi panggung dan lain-lain.
Menurut Umi Nurun, inisiasi dari santri ini menjadi bukti bahwa pelan-pelan kesadaran untuk 'Pakai yang Ada' sudah terbangun. "Kami pun mengajak mereka untuk ikut agenda youthcamp, awal Februari lalu. Di arena camp itu santri bergabung dengan komunitas Muda-Mudi Wani Gerak Jatim. Mereka di sana belajar banyak hal dan merasa punya banyak teman seperjalanan yang sevisi dan sefrekuensi lho," ujar Umi Nurun senang.
Untuk menumbuhkan kesadaran santri, pihak pesantren juga menyediakan wadah diskusi khusus santri yang diberi nama Kumpulan Ruang Tenang (RT). Agenda kumpul santri ini dilaksanakan dengan tujuan terwujudnya santri pembaharu yang bahagia, salih, muslih, tangguh, dan berdaya yang mengedepankan nilai keadilan dan kesetaraan gender Islam. Dalam Kumpulan RT ini santri diberikan edukasi seputar pengenalan dan pengembangan diri remaja, kespro dan juga lingkungan.
Seperti diskusi yang digelar akhir Januari lalu, dengan difasilitasi seorang santri, dibahaslah soal isi bagaimana merespons sampah di Pesantren Shafiyah. Dari hasil diskusi disepakati untuk ketika beli makanan pakai wadah sendiri, sampah plastik yang tak terhindari akan dibuat ecobrick, sampah organik diolah menjadi kompos, dan sisa makanan di dapur santri dijadikan pakan ternak.
Pada momen itu juga, Shafiyah resmi melantik Duta Lingkungan. Dua santriwati yang berkemauan tinggi dengan suka rela menjadi pahlawan lingkungan di Shafiyah.
Ditularkan ke wali santri
Tidak hanya berhenti pada menumbuhkan kesadaran santri. Penting juga gerakan ini menyasar wali santri sebagai penanggung jawab utama pengasuhan. Untuk ini Pesantren Syafiyah memiliki program Ruang Asuh Bersama (RAB) sebagai usaha persuasif kepada wali santri untuk memiliki kepedulian kesadaran yang sama sehingga mindset yang sama.
Wadah-wadah diskusi baik dengan segmentasi santri maupun wali santri ini bertujuan untuk membangun gerakan 'Pakai yang Ada' yang merupakan implementasi dari 3M yakni reduce, reuse, dan recycle. Dengan memaksimalkan manfaat dari barang yang ada dan meminimalisir pembelian barang baru. Alasannya jelas, karena barang baru merupakan potensi sampah baru.
Gerakan-gerakan menebarkan kesadaran untuk mencintai lingkungan ini menurut Kiai Aziz maupun Umi Nurun terinpirasi dari pesantren tempat mereka berdua menuntut ilmu yakni di Pesantren Sukorejo, Situbondo yang juga menerapkan hal yang sama lebih awal.
"Kiai saya, Kiai Zaim (di Pesantren Sukorejo) memerintah seluruh santri kalau beli bawa wadah sendiri. Bayangkan santri Sukorejo 12 ribu, dan itu hanya pakai wadah. Layak kita tiru, makanya di Pondok Pesantren Syafiyah, mengupayakan bagaimana menuju santri zero waste," papar Kiai Aziz.
Tantangan
Perjuangan sepasang pengasuh pesantren ini bukan tanpa tantangan. Pasalnya, yang hendak diubah bukan semata perilaku tapi juga pola pikir (mindset). Ikhtiar menanamkan pola pikir yang ramah lingkungan meniscayakan proses yang tidak instan, melainkan tahap demi setahap.
"Tantangan lainnya adalah terkait monitoring (pengawasan)," kata Kiai Abdul Aziz.
Menurutnya, karena prosesnya yang gradual dan menyasar peserta didik yang masih remaja, kesabaran dalam mengawal pelaksanaan gagasan merupakan hal yang harus dilalui.
Upaya Pengasuh Pondok Pesantren Shafiyah untuk meningkatkan kesadaran cinta lingkungan dengan meminimalisir sampah mulai dari diri sendiri, keluarga, santri dan wali santri ini berhasil menjadikan sosok Kiai Abdul Aziz dan Umi Nurun Sariyah sebagai pemenang Gaharu Bumi Innovation Challenge karena telah mengajak masyarakat luas untuk melakukan konservasi air, menghemat energi, memakai yang sudah ada, mengelola sampah dan mengelola lahan sehingga bisa mencukupi kebutuhan pesantren seraya mengajak semua orang ikut menjadi penggerak perubahan.
Gaharu Bumi Innovation Challenge diadakan oleh Ashoka dan Kok Bisa dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation untuk menyebarluaskan semangat dan berbagai inovasi berharga yang telah dilakukan oleh para penggerak perubahan untuk memperlambat krisis iklim.