Di dunia tulis-menulis, nama Muhammad Al-Fayyadl (27 tahun) sudah cukup dikenal. Sejumlah buku terlahir dari pria yang kini menempuh pendidikan di Universite Paris 8 pada jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan itu.<>
Dilahirkan di lingkungan pondok pesantren, 27 tahun silam, gaya hidup seorang santri memang sangat melekat dengan sosok Muhammad Al-Fayyadl. Setidaknya, itu terlihat ketika Kontributor NU Online Probolinggo menemuinya pada Ahad (4/8) di rumahnya.
Pria yang baru pulang dari Prancis, pada Ahad (28/7) dini hari itu, mengenakan sarung dan berkopiah, layaknya santri lainnya. Menekuni filsafat barat dan belajar di negeri Napoleon ternyata tidak membuat gaya hidup Al Fayyadl jadi kebarat-baratan. Identitas santri tetap melekat pada pria kelahiran Oktober 1985 itu.
Ya, masa kecilnya memang banyak dihabiskan di lingkungan pesantren. Mulai Pesantren Nurul Jadid, di Kecamatan Paiton, Pesantren Nurul Qur’an di Kecamatan Kraksaan sampai Pesantren Annuqayah, di Kabupaten Sumenep, Madura.
Fayyadl dilahirkan di lingkungan Pesantren Nurul Jadid Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo. Pendidikan dasar ia kenyam di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Mun’im, Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton. Selama di Paiton, ia rutin mengikuti pengajian bersama santri lain pada kakeknya, alm KH. Hasan Abdul Wafi, dan pengasuh Pesantren Nurul Jadid saat itu alm KH. Abdul Wahid Zaini. “Kalau Ramadhan, saya pasti ikut pengajian,” katanya.
Selain menimba ilmu di Pesantren Nurul Jadid, Fayyadl juga pernah nyantri di Pesantren Nurul Qur’an, di Kecamatan Kraksaan namun tak sampai setahun. Di pesantren tersebut, penulis buku Derrida ini, sempat menghafal beberapa surat dalam Al Qur’an.
Lulus MI, ia mondok di Pesantren Annuqayah, di Kabupaten Sumenep. Di pesantren tersebut dia menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Di sini, dia mulai menaruh minat pada bidang Tasawuf dan sastra Indonesia melalui buku-buku yang dibacanya dari perpustakaan.
Saat masih duduk di bangku kelas 2 MTs, dia sudah mulai membaca buku Ibnu Sina dan nama-nama lain dalam dunia tasawuf. Ia juga mulai membaca karya-karya Imam Ghazali yang selain sufi, juga seorang filsuf.
Di bidang sastra, Fayyadl mulai membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Antara lain “Bumi Manusia” dan “Anak Semua Bangsa” (dua buku pertama dari empat buku tetralogi Paramoedya, Red). “Buku Jejak Langkah dan Rumah Kaca, waktu itu saya belum dapat,” kata putra sulung dari H. Malthuf Siraj dan Hj. Hamidah Wafie tersebut.
Buku-buku tersebut, dia dapat dengan cara meminjam pada Makmun, seorang familinya di pesantren. Dari perpustakaan Makmun, Fayyadl juga banyak membaca buku-buku sosial dan filsafat. Hingga akhir Tsanawiyah, dia mulai aktif menulis di buletin pesantren. “Saya suka menulis dengan bentuk esai karena lebih bebas berekspresi,” katanya.
Memasuki tahun 2000, bersama seorang temannya Faisol, Fayyadl menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul “Pertemuan Sufi”. Yang spesial baginya, penyair kenamaan dan pemilik Diva Pers Edi AH. Iyubenu bersedia menulis epilog dalam buku perdananya tersebut.
“Buku itu dibedah di pondok. Dan itu pengalaman pertama saya berbicara di depan orang banyak,” kenang penulis buku Teologi Negatif Ibn Arabi, terbitan LKiS tersebut.
Fayyadl mulai memberanikan diri menulis di media massa, setelah bertemu dan banyak berdiskusi dengan Abdul A’la (kini Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Red) yang juga pamannya. “Dia (Abdul A’la, Red) banyak menulis di jurnal Taswirul Afkar, Jawa Pos, Kompas, serta media lain,” kata Fayyadl.
Itulah yang melecutkan semangatnya untuk melakukan hal serupa. Hingga akhirnya, tulisannya dimuat di majalah Aula (terbitan PW NU Jawa Timur). Fayyadl ingat betul topik yang ia bahas di tulisan perdananya di media massa tersebut: fiqh.
Saat kelas 3 MA, Radar Madura (Jawa Pos Group) menyediakan halaman opini. Beberapa tulisan Fayyadl, termuat di koran tersebut. Tanpa ia sadari, kebiasaannya menulis di koran lokal tersebut telah memudahkannya menulis di Koran Jawa Pos. Dan, itu terjadi saat ia mulai kuliah di Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat.
Lulus dari Jogjakarta, Fayyadl lantas melanjutkan studi di Universite Paris 8 pada jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan pada 2012 lalu. Hingga kini, terhitung telah ada empat buku yang lahir dari tangannya.
Selain kumpulan puisi Pertemuan Sufi, ia juga menerbitkan buku Tawashin: Kitab Kematian (diterbitkan saat kuliah di semester II) yang merupakan terjemahan dari tulisan Al-Hallaj, seorang tokoh sufi yang tewas dibunuh. Kemudian ada buku filsafat berjudul Derrida (2005) dan yang terakhir Teologi Negatif Ibn Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2012).
Selain buku pertama, buku karya Fayyadl diterbitkan di Jogjakarta. Buku yang disebutkan terakhir, adalah pengembangan dari skripsinya di IAIN Sunan Kalijaga. Dan kini, sebuah buku baru tengah disiapkannya.
Saat mendapat galar sarjana strata 1 dari IAIN Sunan Kalijaga, ada empat alternatif karir pemikiran (begitu dia memberi istilah) yang akan dijalaninya. Yakni, menekuni filsafat barat, studi keislaman, ilmu-ilmu social, dan sastra.
Namun, pria yang pernah menjadi editor pada penerbitan LKiS Jogjakarta tersebut, memilih filsafat. “Saya rasa, pengetahuan saya di sini masih kurang,” kata penulis yang sempat berencana menempuh studi di Maroko dan Mesir saat lulus Aliyah tersebut.
Ia berobsesi memberikan kontribusi pada wacana filsafat di Indonesia yang menurutnya belum begitu mengakar. Padahal, hal itu sangat penting. Tanpa itu, katanya, tak mungkin founding fathres Indonesia Soekarno merangkai republik ini pada 1945 silam. Baginya, presiden pertama tersebut, terpengaruh pada wacana kebebasan yang berkembang dalam revolusi Prancis saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. (Syamsul Akbar: Red/Anam)