Raedu Basha mengatakan misi besar dari sastra pesantren adalah agar manusia bisa bermanfaat untuk manusia lainnya maupun alam semesta. (Foto: istimewa)
Brebes, NU Online
Sastrawan muda asal Madura, Raedu Basha menyebut kesadaran bangsa harus diketuk dengan sastra, termasuk sastra pesantren. Sebab, yang menjadi titik besar dari sastra pesantren adalah menyuarakan kesadaran kemanusiaan, sosial, lingkungan, bangsa dan negara.
"Misi besar dari sastra pesantren adalah agar manusia bisa bermanfaat untuk manusia lainnya maupun alam semesta. Itu adalah kata kunci Nabi Muhammad SAW diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan perilaku manusia. Karena perilaku manusia adalah sebuah karya atau kebudayaan," kata Raedu dalam Festival Literasi Brebes 2021 yang diselenggarakan oleh Lesbumi NU Brebes, Jawa Tengah, Sabtu (3/4).
Ia mengatakan sastra pesantren adalah objek, subjek, dan penulisnya santri yang pernah mukim di Pondok Pesantren maupun bukan bagian dari pesantren, tetapi memiliki sanad ilmu yang jelas nyambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Pemilik nama pena Badrus Shaleh itu menerukan wacana sastra pesantren di Indonesia ini pernah disampaikan oleh Gus Dur pada tahun 1973 dalam sebuah esai yang dimuat di majalah Prisma dengan judul Pesantren dan Kesastraan Indonesia.
"Jadi, Gus Dur-lah pemantik pertama tentang sastra pesantren," terang penulis buku Hadrah Kiai dalam diskusi yang bertajuk Quo Vadis Sastra Santri.
Sastra pesantren lahir dari sebuah bahasa daerah-bahasa ibu, kemudian lahir dari Bahasa Arab, dan akhir-akhir ini berkembang menjadi sastra Indonesia.
Pengurus Lesbumi PWNU Jawa Timur yang juga Pengasuh Pesantren Darussalam Sumenep, Jawa Timur itu berpesan agar generasi muda mulai disentuhkan mencintai bahasa. Pertama, mencintai bahasa ibu (bahasa daerah). Kedua, mencintai bahasa nasionalnya (bahasa Indonesia), kemudian diberikan kemampuan untuk menguasai bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya.
Ekspresi
Sementara itu, Ketua Lesbumi NU Brebes Dimas Indiana Senja (Dimas Indiato) mengatakan bahwa sastra menjadi media yang digunakan sebagai ekspresi personal, komunal, pencarian jati diri, sampai dengan menunjang hidup santri.
"Sampai hari ini, pesantren mampu melahirkan sastrawan santri. Ia mencontohkan Pondok Pena yang setiap dua tahun sekali mengadakan pesantren menulis bahkan sudah empat kali mengadakan lomba cerpen tentang pesantren se-Indonesia dan Pesantren An-Najah Purwokerto yang menggagas pesantrenya sebagai pesantren kepenulisan khususnya sastra santri," jelasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan