Cerita Mbah Siradj Keliling Kampung Beri Makan Warga dan Menempa Pejuang Kemerdekaan
Jumat, 22 Desember 2023 | 18:30 WIB
Di daerah Panularan, Kota Solo, Jawa Tengah terdapat Pondok Pesantren As-Siraj. Nama pesantren ini dinisbatkan kepada Allah Yarham KH Ahmad Siradj (baca: Siroj), sang pendiri pesantren yang juga salah satu ulama yang ikut merintis berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Solo.
Yang penulis amati, setiap acara peringatan haul Simbah Buyut dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) ini, para tamu yang hadir tidak hanya berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya, tetapi juga luar daerah seperti Rembang, Tuban, dan lain sebagainya. Pun mereka yang ikut nyengkuyung kegiatan tahunan ini, juga dari berbagai kalangan etnis dan suku; Jawa, Arab, Banjar, Tionghoa, Sunda, dan Madura.
Layaknya peribahasa “siapa yang menanam, dia akan menuai”. Begitu pula dengan Mbah Siradj, semasa hidupnya senantiasa ia gunakan untuk menolong sesama, mengajar ilmu agama, aktif di organisasi Nahdlatul Ulama dan kebaikan-kebaikan lain, sehingga ketika ia meninggal pun kebaikannya masih terus dikenang oleh banyak orang.
Kiai yang gemar memakai iket berbaju putih serta bersarung wulung ini, kerap berkeliling kampung untuk menanyakan kepada tetangga perihal stok makanan. Apabila warga tersebut tidak bisa makan, ia selalu berusaha untuk membantu agar dapur warga sekitarnya tetap mengepul.
Mbah Siradj merupakan sebuah potret ulama bersahaja yang dibingkai pula dengan kisah kepahlawanan. Meski dekat dengan Paku Buwono X, Kiai Siradj tetap hidup dalam penuh kesederhanaan. Rumah yang ia tinggali, sekaligus menjadi tempat mengaji, hanya sebuah gedhek (rumah dari anyaman bambu) yang lokasinya terletak tak jauh dari SMA Al Islam.
Namun, siapa sangka dari bangunan gedhek tersebut, menjadi salah satu markas untuk menempa mental para pejuang yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah Surakarta, agar tetap tabah dalam berjuang mengusir penjajah.
Bila di Parakan Temanggung ada Mbah Subchi yang memberikan semangat kepada para pejuang lewat bambu runcingnya, maka di Solo ada Mbah Siradj beserta kiai-kiai sepuh lain yang tergabung dalam “Barisan Kiai” menjadi rujukan para laskar dan tentara yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. Sebelum berangkat berperang, mereka minta didoakan para kiai sepuh ini agar lurus niat dan bertambah semangat dalam berjuang.
Tokoh kharismatik
Salah satu pejuang Hizbullah Surakarta, Soepanto dalam bukunya berjudul “Hizbullah Surakarta” (1992), mengisahkan peran “Barisan Kiai” ini dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, sosok kiai memiliki otoritas karismatik yang dengan hal itu, dapat menjadi sosok pengobar semangat untuk berjuang dan membangkitkan cinta kepada tanah air, dengan slogan: hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian daripada iman). Peran perjuangan Barisan Kiai ini bersama laskar Hizbullah, Sabilillah, serta elemen lain seperti Tentara Pelajar, Barisan Banteng, dan lainnya memberikan andil besar dalam upaya mengusir penjajah.
Di wilayah Surakarta, Kiai Siradj tidak sendirian berjuang dalam wadah Barisan Kiai. Selain dia, juga ada KH A Rochman (Namanya dijadikan menjadi salah satu masjid di Manahan), Kiai Martowikoro Keprabon, dan KH Ma’ruf Mangunwiyoto Jenengan. Nama terakhir, yakni Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto bahkan didapuk menjadi Ketua Barisan Kiai se Jawa Tengah).
Para kiai ini selain bertugas untuk memberi wejangan kepada para pejuang, juga sebagian ada yang turut ke medan peperangan baik berperang secara fisik dengan membawa senjata maupun non-fisik, yakni dengan membaca hizib atau bacaan tertentu, semisal Hizib Nashar, Hizib al-Bahri, dan lain-lain.
Sementara itu, di wilayah lain seperti Gemolong Sragen, ada tokoh kiai bernama KH Bulqien Zuhdi (Mbah Bolkin) yang ikut berjuang di medan perang lainnya bersama kiai lainnya, antara lain KH Muslim, Kiai Ridwan, Kiai Sujak, dan Kiai Zarkasi. Sedangkan di Karanganyar, ada Kiai Imam Nawawi Matesih, Kiai Asfani Bakdalem, Kiai Raden Salimulhadi, dan Kiai Abdul Muslim. Di Sukoharjo, ada Kiai Muslih Blimbing, Kiai Zaeni Wonorejo, dan Kiai Abdul Syukur Glondongan.
Tentu, perjuangan yang dilakukan Kiai Siradj bersama para ulama lain dalam Barisan Kiai ini tidak lahir begitu saja, tetapi merupakan sebuah warisan pemikiran dan perjuangan yang telah ada sejak zaman-zaman sebelumnya. Terlebih, Kiai Siradj juga seorang mursyid Tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah, sebuah gerakan yang banyak memiliki sejarah dan jejak perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah.
Seperti yang dikatakan Azyumardi Azra (2005) dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, pada masa kolonial dulu, gerakan tarekat di samping sebagai wadah organisasi tempat berkumpulnya orang-orang yang berupaya untuk mengikuti kehidupan tasawuf juga menjadi sebuah gerakan perlawanan untuk memerangi penjajah. Sejarah mencatat, ada sejumlah gerakan perlawanan besar yang dilakukan para tokoh tarekat dan pengikutnya di Nusantara terhadap Belanda.
Di antara para tokohnya, di Banten ada Syekh Yusuf Makassar yang bergelar al-Taj al-Khalwati. Sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah Belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa’i (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).
Peran tarekat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Para pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Mojo, Kiai Zamakhsari Jamsaren, Kiai Imam Rozi (Singo Manjat) Tempursari Klaten, Kiai Mukhoyat (Singo Waspodo) Pengkol Pedan, dan lainnya, merupakan tokoh dari berbagai aliran tarekat baik Qadiriyah, Syadziliyah, Syatthariyah, Naqsabandiyah dan lain sebagainya. Dari sanad jalur perjuangan mereka inilah, yang kemudian juga mengilhami para murid-murid mereka untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajah
Di sisi lain, meski garang ketika melawan penjajah, para ulama tarekat ini memiliki kekhasan dalam berdakwah, yakni senantiasa santun dan dengan penuh teladan dalam menyampaikan pesan ajaran Islam yang damai. Seperti halnya yang telah dicontohkan Kiai Siradj yang penulis paparkan di awal. Semoga kita bisa meneladani akhlak dan perjuangan mereka.
Ajie Najmuddin, penulis buku Menyambut Satu Abad NU