KH Abdullah Faqih, salah seorang tokoh yang dikaitkan dengan Geger Bedewang (Foto: Dok. Komunitas Pegon)
Di penghujung April 1926, terjadi pergolakan di tengah masyarakat Banyuwangi. Di ujung timur Jawa itu, sejumlah masyarakat pedesaan resah dengan belasting (pajak) yang diterapkan pemerintah kolonial pada masa itu. Bahkan, di sejumlah desa telah terjadi pergerakan massa.
“Oemomnja ada pertjaja, nanti pada tanggal 1 Mei, jaitoe Saptoe j.l. [jang laloe – pen] bakal terbit pergerakan jang akan bikin perlawanan pada bestuur. Sedari Rebo 28 April j.l telah didapatken tanda-tanda jang betoel di itoe hari bakal terdjadi keriboetan,” demikian tulis surat kabar Tjahaja Timoer, 12 Mei 1926.
Akan tetapi, pergerakan massa terlanjur memanas. Tak sabar menunggu agenda aksi yang bersamaan dengan peringatan hari buruh internasional itu tiba, sejumlah masyarakat yang telah kumpul-kumpul menyuarakan aksi protes tersebut.
Salah satunya adalah di Desa Bedewang yang kini secara administratif masuk Kecamatan Songgon. Pada Jumat malam, 30 April 1926, massa tak bisa dikendalikan oleh para petugas. Bahkan, Wedana Rogojampi yang membawahi wilayah tersebut kala itu, tak berkutik.
Setelah mendapat laporan dari Asisten Wedana, Wedana Rogojampi yang baru terpilih itu, segera menuju ke lokasi. Ia menemui massa dan mencoba menenangkannya. Akan tetapi, bukannya mereda, massa justru semakin mengamuk.
“Setelah wedana Rogodjampi, jang baroe beberapa hari sadja di tempatkan di sana, menerima kabar tentang kedjadian itoe, boeroe-boeroe pergilah ia kesana dan diichtiarkannjalah menenangkan hati orang banjak itoe. Ichtiarnja ini tidak berhasil. Tong-tong berboenji dan orang kampoeng penoehlah datang kesana,” demikian tulis surat kabar Bintang Islam edisi 10 Mei 1926.
Wedana Rogojampi bersama sejumlah pengawalnya pun tunggang langgang menyelamatkan diri. Veld polisi didatangkan dari Banyuwangi untuk mengatasi huru-hara tersebut. Rakyat tak serta merta surut. Mereka memberikan perlawanan. Sebagaimana dilansir dari Bintang Islam (10 Mei 1926), tersiar kabar burung ada seorang polisi yang tewas dicincang massa.
Namun yang pasti, sebagaimana dilansir oleh Tjahaja Timoer (12 Mei 1926), akibat geger di Bedewang tersebut empat orang dilarikan ke rumah sakit. Salah satunya terluka parah. Lebih dari 90 orang pada malam itu yang ditangkap.
Beberapa hari kemudian, terdapat 200 orang yang ditangkap dari berbagai desa buntut dari aksi protes tersebut. Bahkan, disertai pula dengan tembakan peringatan bagi orang-orang yang hendak melarikan diri.
Kejadian tersebut mendapat atensi yang cukup serius. Residen Besuki yang membawahi Kabupaten Banyuwangi turun langsung memantau perkembangan peristiwa tersebut. Proses hukumnya pun terus berlanjut. Walaupun dari 200-an orang yang ditangkap tak seluruhnya dihukum. Koran Djawa Tengah edisi 30 Agustus 1926 mengabarkan jika hanya tersisa 107 tahanan saja. Bahkan, 72 orang lainnya sudah dilepaskan. Sisa 37 orang yang akan disidangkan di pengadilan (landraad).
Peristiwa Geger Bedewang tersebut, tidak terlepas dari peran para kiai kampung. Tokoh-tokoh agama lokal yang menjadi tumpuan masyarakat pedesaan. Menjadi tempat mencurahkan berbagai beban kehidupan. Para kiai yang tercerahkan dengan keluhuran semangat jihad fi sabilillah ataupun dengan pemahaman revolusioner akan bangkit bergerak. Sebagaimana banyak terjadi di sejumlah tempat. Seperti halnya di Cianjur (1885), Cilegon (1888), dan Garut (1919) (lihat Aqib Suminto, 1985: 64-78).
Geger Bedewang itu sendiri masih belum terdapat riset yang memadai perihal gerakan dan akar persoalannya secara mendalam. Namun, indikasi akan pengaruh dari para kiai kampung sebagai aktor penggerak sangat kentara. Sebagaimana dilansir dari surat kabar Bintang Islam (10 Mei 1926), Geger Bedewang tersebut, digerakkan oleh Sarekat Rakjat.
Sarekat Rakjat ini dituduh sebagai gerakan yang terafiliasi dengan faham komunisme. Akan tetapi, terlepas dari benar tidaknya tuduhan tersebut, para penggerak Sarekat Rakjat tersebut adalah para kiai kampung. Pada surat Asisten Resident Banjoewangi tertanggal 19 Desember 1925, disebutkan bahwa Sarekat Rakjat tersebut dipimpin oleh goeroe-goeroe igama Mohamadaan yang tak lain dalam istilah saat ini adalah para kiai kampung.
Para kiai kampung tersebut, kerap mendapatkan aduan dari masyarakat tentang praktik perpajakan yang membebani. Tak sebatas karena nilainya yang besar, namun juga diakibatkan oleh perilaku aparaturnya yang zalim dan korup.
Sebagaimana dikeluhkan dalam surat kabar Tjahaja Timoer, 12 Mei 1926, tidak sedikit para petugas pajak di Keresidenan Besuki yang tidak memahami sepenuhnya undang-undang perpajakan. Banyak di antara mereka yang menagih pajak ke semua kalangan. Bahkan, termasuk kepada masyarakat yang penghasilannya di bawah 1.200 rupiah per tahunnya. Akibatnya, hal tersebut, menjadikan keresahan di tengah masyarakat.
Ketika Asisten Residen ataupun controleur mendapatkan laporan tersebut. Mereka berkilah telah dilakukan pengawasan oleh inspektur yang membidanginya. Mereka juga kerap beralasan sibuk dengan tugas-tugas administrasi di kantornya. Atas kebuntuan tersebut, tak ayal kemudian muncul perlawanan-perlawanan yang kerap dimotori oleh para kiai kampung.
Saat para kiai kampung tersebut menyuarakan jerit perih rakyat itu dalam setiap pengajiannya, dianggap sebagai tindakan radikal dan komunis. Hal ini sebagaimana dimuat dalam surat kabar Djawa Tengah, 13 Januari 1926, yang mengabarkan tentang Sarekat Rakjat di Banyuwangi.
“Menimbang bahoea berhoeboeng dengen ini ada terdapet itoe sebab sebab jang sah boeat dirasaken koeatir, bahoea goeroe goeroe igama terseboet di atas peladjarannja bakal tida bisa menjimpang dari pada sikep communist dan dari sitoe ada menimboelkan bahaja boeat keamanan oemoem, lantaran apa maka perloe sekali boeat melarang Merika itoe kasi peladjaran igama boeat tempo jang ditentoekan.”
Akibatnya, ada sejumlah kiai kampung yang mendapatkan hukuman. Di antaranya hukuman dilarang mengajar selama setahun penuh. Hukuman tersebut diberikan kepada empat kiai kampung yang tergabung dalam Sarekat Rakjat. Mereka adalah adalah Soetrijo dari Andong, Kecamatan Singojuruh; Haji Saleh dari Bedewang, Kecamatan Songgon, Djadjar alias Boerham dari Pakistasji, Kecamatan Kabat dan Oesin dari Lateng, Kecamatan Rogojampi.
Dampak dari hukuman ini, besar kemungkinan, berbuntut dengan bergolaknya masyarakat. Empat bulan berselang dari putusan itu, meletuslah Geger Bedewang tersebut. Bahkan, Sri Adi Oetomo dalam Selayang Pandang Perang Kemerdekaan di Bumi Blambangan (1996), mengaitkan Geger Bedewang tersebut dengan kepemimpinan KH Abdullah Faqih. Seorang kiai kharismatik yang mendirikan Pesantren Cemoro, Desa Balak, Songgon, yang keberadaannya tak seberapa jauh dari lokasi perlawanan tersebut.
Ayung Notonegoro, founder Komunitas Pegon Banyuwangi, menulis sejumlah buku sejarah, di antaranya "Lentera Blambangan: Sembilan Biografi Ulama Teladan Banyuwangi"