Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari: Awas Tipu Muslihat Musuh Agama dan Negara
Jumat, 5 Juli 2024 | 14:00 WIB
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Bagi umat Muslim yang mampu, wajib baginya untuk menunaikannya. Namun, pernah dalam sejarah bangsa Indonesia, Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari melarang umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah tersebut.
Bagi Kiai Hasyim, ibadah haji pada saat itu, adalah bagian dari tipu daya musuh. Maklum, saat itu, negara Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kembali menghadapi kedatangan penjajah Belanda bersama dengan sekutunya.
Kedatangan kembali para penjajah tersebut mendapatkan perlawanan keras bangsa Indonesia. tak terkecuali bagi Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim sebagai pucuk pimpinan NU pun menyerukan perlawanan. Beliau menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bahkan, dipertegas kembali dalam Muktamar ke-16 NU di Purwokerto.
Seruan jihad tersebut menggelorakan perlawanan semesta umat Islam di Indonesia. Kecamuk peperangan terjadi di sejumlah tempat. Seperti halnya Perang Surabaya pada 10 November 1945 yang melegenda tersebut.
Gelombang perlawanan umat Islam tersebut, membuat pusing penjajah Belanda. Charles Olke van der Plas (1891-1977) yang menjabat sebagai Chief Civil Affairs Officer yang mendampingi Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook menyarankan untuk “merangkul” umat Islam Indonesia. Salah satu caranya dengan memfasilitasi perjalanan ibadah haji.
Van Der Plas di antaranya datang ke Banjarmasin. Ia menawarkan Kapal Kongsi Tiga milik Belanda untuk menjadi kendaraan haji. Bahkan, di Madura, sejumlah pesawat terbang menebarkan pamflet ajakan bagi umat Muslim untuk berhaji dengan fasilitasi dari Belanda. Namun, ajakan tersebut, tak mendapatkan sambutan luas. Justru membangkitkan perlawanan. Seperti halnya saat pesawat Belanda yang menebarkan pamflet di Madura sedang mendarat, langsung mendapat serangan dari para pejuang Indonesia di sana.
Penolakan dan serangan tersebut, tentu saja tidak terlepas dari semangat dan doktrin yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari. Beliau dalam pidatonya yang disiarkan di radio pada 24 Juli 1946 mengutuk keras segala bujuk rayu penjajah berkedok fasilitasi haji tersebut.
Berikut adalah transkrip lengkap pidato Kiai Hasyim Asy’ari sebagaimana dimuat dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama nomor istimewa, No. 3 Tahun I, Agustus 1946 (dengan penyesuaian ejaan):
AWAS TIPU MUSLIHAT MUSUH: Pencuri Agama dan Negara
Assalamualaikum Wr Wb!
Apakah yang akan kami katakan kepada orang-orang yang mengajak menjalankan ibadah haji ke Baitul Haram (Makkah) dalam masa yang sesukar sekarang ini adalah supaya tersia-sia (lenyap) usahanya? Hanya kepada Tuhan SWT. saya mohon pertolongan atas semua hal duniawi dan agama. Ketahuilah saudara-saudara yang mulia, bahwa Tuhan SWT. tidak mewajibkan ibadah haji dan umrah atas kamu sekalian, kecuali apabila terdapat 5 syarat yang mewajibkan:
1.Islam, 2). Balig, 3). Aqil, 4). Merdeka seratus persen, bukan hamba belian, 5). Kuasa. Dan belum dikatakan berkuasa, kecuali nyata tujuh perkara:
1. Kuasa atas biaya pulang-pergi dan untuk bermukim selama dalam perjalanan sehingga sampai ke negerinya.
2. Aman dan sentausa dalam perjalanan. Dan jikalau tidak aman sebagaimana waktu sekarang ini, ibadah haji tidak wajib, bahkan haram jikalau sangkaan tidak aman itu lebih kuat. Hal demikian mengenai orang umum dan khusus.
3. Ada kendaraan, binatang atau lainnya.
4. Tetap da tidak ada kekuatiran atas kendaraan.
5. Bisa mendapatkan bekal dan bahan makanan.
Bekal sebagaimana waktu ini, di antaranya di negeri Makkah tidak bisa membeli air dan makanan dengan uang kertas Belanda dan uang kertas Jepang. Sungguh saya telah mendapatkan kabar dari seorang yang pulang dari negeri Makkah, bahwa uang kertas Belanda dan uang kertas Jepang oleh Raja Bin Saud ditolaknya pada 3 bulan yang lalu sejak jatuhnya Kerajaan itu. Dan sudah pada lazimnya uang kertas Belanda dan uang kertas Jepang tidak laku di sana. Padahal saudara-saudara kita di Indonesia tidak ada uang lagi, kecuali dari uang kedua jenis itu dan mereka itu tidak dapat belanja makanan dan air kecuali jikalau mereka membawa uang emas dan perak. Dari mana mereka itu mendapatkannya?
6. Bisa berjalan sebagaimana perjalanan biasa.
7. Mendapatkan waktunya ibadah haji, yaitu bulan Syawal, Zulqaidah dan 10 hari dari bulan Zulhijjah.
Maka bila mana tujuh syarat kuasa itu terdapat, wajiblah ibadah haji dan umrah. Dan apabila satu syarat di antaranya terhalang adanya, ibadah haji itu tidak wajib dan barangkali menjadi haram.
Dengan singkat, berpergian untuk menjalankan ibadah haji dan umrah dalam waktu sesempit ini haram hukumnya, karena sangkaan adanya kekuatiran nyata dari beberapa jurusan. Tuhan berfirman yang kurang lebih maksudnya:
“…. Dan janganlah kamu sekalian menjatuhkan dirimu kepada kerusakan…”
Dan Tuhan berfirman: “Janganlah kamu sekalian membunuh akan dirimu…”
Kemudian, mengajak menjalankan ibadah haji dalam waktu sekarang ini adalah tipu daya musuh yang mereka gunakan untuk membelokkan diri memerangi mereka. Perang mana telah diwajibkan oleh Tuhan dengan wajib ain. Dan lagi supaya mereka dapat menempatkan alat perang mereka hingga pula dapat mengalahkan kamu dengan tidak terasa. Dan sungguh mereka itu adalah pencuri yang melampaui batas. Yakni, bukanlah mereka itu pencuri harta benda dan bukan pula pencuri jiwa saja, tetapi mereka itu pencuri agama dan negara. Dan pencuri agama dan negara adalah sebesar-besarnya orang yang melampaui batas.
Dan sesungguhnya harta benda dan jiwa pada dasarnya sesuatu yang dibelanjakan guna tebusan agama dan negara, dan pula untuk menjaga keduanya. Karena yang demikian, agama dan negara lebih besar dan lebih berharga dari pada harta benda dan jiwa kita. Dan orang yang merampas atas keduanya adalah lebih besar dosanya dari pada dosa orang yang merampas atas harta benda dan jiwa. Padahal mempertahankan harta benda dan jiwa diserukan oleh syariat dan termasuk keperluan dalam agama.
Rasulullah bersabda yang kurang lebih maksudnya demikian: “Barangsiapa terbunuh karena membela harta bendanya adalah orang yang mati syahid.” (Hadits Bukhari).
Dan dalam hadits Ibnu Majah: “Barangsiapa hendak diambil harta bendanya, kemudian ia membela dan terbunuh karenanya, maka ia mati syahid.”
Dan lagi hadits Tirmidzi tentang hal itu disebut juga hal yang mengenai tentang membela keluarga, diri dan agama. Dan apabila keadaan musuh itu pencuri, maka kelengahan diri menjaga mereka itulah yang diharap-harapkan mereka guna mencapai alat yang mereka curi dan mereka menjadi berani dan terus-menerus menjalankan pencurian.
Pencurian sudah barang tak khilaf lagi, bahwa berjaga itu sesuatu hal yang ditakuti oleh pencuri dan hal yang menyebabkan lenyapnya usahanya dan menjadi ia gentar karena dia seorang yang menjalankan perbuatan terkutuk oleh syariat samawy (langit) dan aradly (duniawi).
Karena yang demikian, kita harus menjaga dan senantiasa berhati-hati terhadap musuh dengan jalan, kita tak akan menuruti kehendak mereka, tak memperdulikan omongan mereka dan seharusnya tidak pula kita menurut hukum mereka. Dan andai kata kita tidak bersiap demikian, niscayalah kita menjadi orang yang tak beragama dan tak bernegeri dan pula tak berharga dalam dunia dan akhirat. Menjadi kita golongan yang rugi, hina dina di dunia dan akhirat.
Dan barangsiapa yang tidak mengambil ibarat dari hal-hal dan kejadian di masa yang telah lampau di zaman penjajahan 350 tahun yang lalu adalah orang itu telah mati panca inderanya dan mati perasaannya, lagi tak berakal, tak beragama dan di saf-nya kaum Muslimin dia dianggap menjadi cela.
Ayung Notonegoro, founder Komunitas Pegon Banyuwangi, menulis sejumlah buku sejarah, di antaranya "Lentera Blambangan: Sembilan Biografi Ulama Teladan Banyuwangi"