Setelah merdeka, Indonesia tidak serta-merta mendapatkan keamanan dan pengakuan kedaulatan, apalagi kemakmuran. Penjajah Belanda yang membonceng tentara Sekutu berusaha kembali ke Indonesia. Situasi semacam itu dihadapi bangsa Indonesia dengan perjuangan fisik seperti pertempuran hingga dan diplomasi. Di antara gangguan keamanan yang terjadi setelah Indonesia merdeka adalah agresi militer Belanda I dan II.
Tokoh utama NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan fatwa tidak wajib beribadah haji ketika negara dalam keadaan perang. Fatwa tersebut kemudian menjadi Maklumat Menteri Agama Nomor 4 tahun 1947, yang menyatakan ibadah haji dihentikan selama negara dalam keadaan genting.
Pada tahun 1952, jamaah calon haji Indonesia membludak dalam ukuran masa itu. Dalam laporan Kementerian Agama yang dikutip Tempo, tahun Indonesia mengantongi calon jamaah haji sebanyak 14 ribu orang.
“Suatu jumlah yang lebih tinggi dari tahun-tahun yang sudah, yaitu untuk mengurangi rasa kecewa di kalangan kaum muslimin, agar tiada timbullah kemungkinan bahwa mereka itu digunakan oleh mereka yang tidak mengingikan keteguhan Negara RI,” ungkap KH Wahid pada laporan saat ia mengakhiri jabatan Menteri Agama Indonesia tahun 1953.
Tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 1949 jumlah jamaah haji Indonesia adalah 9.892 orang. Tahun 1950 jumlahnya meningkat menjadi 10.000 orang ditambah 1.843 orang yang berangkat secara mandiri (Tempo edisi 24 april 2011).
Indonesia merupakan negara yang selalu memiliki calon jamaah haji yang sangat besar. Bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Martin van Bruinessen dalam artikelnya berjudul Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji mengatakan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 jamaah haji Indonesia sebanyak 10-20 persen dari seluruh jamaah haji dunia. Malah pada tahun 1920-an, jumlahnya sekitar 40 persen dari seluruh jamaah haji dunia.
Namun, minat berhaji yang sedemikian banyak itu, tidak diimbangi dengan pelayanannya. Jamaah calon haji yang meninggal dalam keberangkatan maupun pulang sering terjadi karena kurangnya tenaga medis. Pada masa itu, perjalanan haji bisa berbulan-bulan sebab menggunakan kapal laut.
Hal itu menjadi keprihatinan KH Wahid Hasyim saat menjadi menteri agama. Dalam artikelnya, Perbaikan Perjalanan Haji, yang dimuat di Mimbar Agama edisi 17 Agustus seperti yang dikutip Tempo edisi sama, Kiai Wahid mengurai persoalan haji Indonesia.
Anggota jamaah haji Indonesia, menurut Kiai Wahid, orang dari lapisan bawah yang agak mampu, tapi kurang pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Mereka mengeluarkan semua biaya berhajinya dengan keyakinan untuk ibadah, sehingga mereka tak peduli besarnya biaya yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan mereka menjadi mangsa empuk orang-orang yang tega mengambil kesempatan. (Abdullah Alawi)