Semua orang pasti mengerti bahwa segalanya menjadi susah di zaman perang. Bukan hanya urusan makan yang normalnya dilakukan tanpa kenal waktu, bahkan tidur yang tidak mengeluarkan biaya sama sekali, berada di luar aturan.
<>Ini dimaklumi oleh siapapun. Bangsa kucing juga harus menanggung dampak darurat zaman perang. Tubuh kucing di zaman itu, hanya berbalut kulit dan bulu. Mereka masuk dari pintu depan, lalu dengan cepat keluar dari pintu belakang rumah penduduk karena dapur masyarakat jarang mengepulkan asap.
Kebanyakan penduduk pergi mengungsi. Mereka mencoba mencari peruntungan nasib di luar kota. Sebagian orang tua pergi ke Jawa Tengah, Cirebon, Banten, bahkan ke Bangka Belitung. Dengan kepandaian membuat aneka kerajinan dari kayu, penduduk kampung Pondok Pinang mengungsi bermodalkan perkakas dan sejumlah uang modal.
Meski zaman perang sudah berlalu, mereka tetap saja tinggal di tempat rantauan. Kerinduan kerabat di tanah halaman yang tidak terampuni, mengharuskannya mendatangi tanah rantauan. Guru Li’ing (panggilan penduduk terhadap Kiai Sholihin Muhasyim) bersama sejumlah penduduk, bermaksud menyambangi sebagian tetangga di rantauan.
“Ayo dah, kita berangkat! Hari dah mulai siang nih,” imbau Guru Li’ing (sapaan akrab Kiai Sholihin Muhasyim) kepada mereka.
Kecamatan demi kecamatan dilewati oleh bus yang mereka tumpangi. Roda bus terus melaju. Karena perjalanan demikian lama, bayangan pepohonan yang ditimpa matahari berpindah dari barat ke timur. Cuaca yang cerah menambah pekatnya bayangan.
“Tuh ada warung, kita makan dulu dah,” ajak Guru Li’ing selepas sembahyang Zuhur dijamak dengan Asar.
“Nggak ah, kami mau meneruskan puasa,” jawab sebagian mereka.
“Hasbullah, lu ikut makan bareng gua. Fiqih kan membolehkan kita membatalkan puasa Ramadhan saat bepergian,” ajak Guru Li’ing kepada seorang santrinya sambil melenggang mendekati warung makan.
“Kalau kagak ngaji, orang jadi susah dibilangin,” kata Guru Li’ing dengan tempe goreng berlumur sambal di tangan.
Usai singgah 15 menit, bus yang memiliki 6 roda kemudian melanjutkan perjalanan. Hari semakin mendekati senja. Meski tidak sepekat siang, bayangan pepohonan semakin memuai ke timur.
Tatkala gema azan Magrib menerobos jendela bus, semua penumpang terlihat sibuk kecuali Guru Li’ing dan seorang santrinya. Sejumlah penumpang mengambil tas lalu mengambil persediaan makan yang mereka bawa. Dibuka dengan doa, nasi bungkus ludes dilahap. Dengan demikian, puasa hari itu dibatalkan penuh dengan berkah.
Penumpang lain yang terlihat agak gelisah adalah tetangga Guru Li’ing yang tidak ikut makan tadi siang. Mereka ditimpa kemalangan telak. Sudah tahu akan berbuka puasa, mereka tidak menyiapkan makanan dan minuman. Di saat yang sama, keenam roda bus melaju hebat. Artinya mereka tidak berkesempatan untuk mendatangi warung makan.
Menyaksikan kegelisahan mereka, perasaan Guru Li’ing dan seorang santrinya bercampur antara geram dan kasihan.
“Tuh, apa gua kata?! Tadi siang diajak makan, pada belagu banget. Nah sekarang giliran buka puasa, mereka kelimpungan kayak bocah kurang jajan,” bisik Guru Li’ing pada Hasbullah.
Profil Singkat
Adalah KH. Sholihin bin Muhasyim yang disebuat Guru Li’ing. Ia hidup pada tahun 1912-1992. Sekolahnya pernah di Sekolah Rakyat, khatam sampai kelas 6. Sekolah Rakyat di kelurahan Pondok Pinang saat itu hanya 3 kelas. Untuk sampai kelas 6, murid harus melanjutkannya di sekolah yang terletak di dekat kecamatan Kebayoran Lama. Menurut pengakuan Kiai Hasbullah, santri Guru Li’ing, tulisan Latin sambung gurunya terbilang bagus.
Selama hidup ia menjadi pegawai KUA. Pada tahun 1950an, ia menjadi pengurus Syuriah NU di ranting Pondok Pinang dengan Kiai Hasbullah sebagai sekretarisnya. Sejak muda ia rajin menjinjing kitab-kitab ke daerah Kuningan dan Mampang Prapatan. Tanpa kendaraan baik beroda dua apalagi empat, perjalanan tetap ditempuh menuju rumah gurunya, Guru M. Makmun Mampang. Darinya, ia menerima pelajaran nahwu dan shoraf sampai mampu membaca kitab sendiri di bawah bimbingan gurunya.
Selain Guru Makmun (ayah Guru Abdurrazak Makmun) Kuningan-Jakarta, ia berguru juga kepada Guru Abdurrazak Makmun (Katib Syuriah PBNU 1967-1971) Mampang, Guru Khalid Petogogan, Guru Ilyas Kebayoran Lama, Guru Abdurrahman Gandaria, dan sejumlah guru lainnya.
Di samping ilmu Fiqih, Guru Li’ing dikenal sebagai guru ilmu Nahwu dan ilmu Kalam. Dari Mampang, jantung pergerakan NU di Jakarta, ia membawa seperangkat ilmu yang dipelajari di pesantren, tetapi juga membawa NU ke Pondok Pinang, Kebayoran Lama. Selain Guru Naijan, Guru Li’ing adalah kiblat utama masyarakat di kawasan Pondok Pinang. (Alhafiz Kurniawan)