Ilustrasi: Bung Karno dan Kiai Wahab Chasbullah dalam sebuah kesempatan. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)
Salah satu media yang pernah memuat polemik pandangan Islamnya Soekarno ialah Berita Nahdlatoel Oelama sekitar tahun 1936. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 141) mengungkapkan bahwa majalah resmi Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama yang saat itu dinakhodai oleh KH Mahfoedz Siddiq tersebut pernah berpolemik dengan Bung Karno tentang “Islam Sontoloyo” yang oleh Kiai Mahfoedz Siddiq dinilai sebagai kedangkalan pengetahuan Bung Karno mengenai Islam.
Selain itu, salah satu tulisan Bung Karno di sebuah media pers yang berjudul “Memudahkan Syariat Islam” juga ditanggapi oleh Berita Nahdlatoel Oelama dengan sanggahan bersifat pembelaan terhadap Syariat Islam. Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Berita NU: “Apa tujuan Ir. Soekarno yang sesungguhnya? Hendak memudakan? ataukah memudahkan? Ataukah barangkali hendak mempermudah Syariat Islam?”
Namun, belakangan diketahui bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah kelompok-kelompok Islam yang memiliki paham eksklusif, kaku, konservatif dalam memahami praktik keberagamaan di Indonesia. Hal ini juga tentu sudah dipahami oleh para kiai NU. Namun, sudah menjadi tradisi pesantren untuk melakukan proses tabayun. Sehingga KH Mahfoedz Siddiq melontarkan sejumlah pertanyaan klarifikasi kepada Bung Karno.
Majalah Berita Nahdlatoel Oelama terdiri dari sejumlah personel redaksi. Majalah Berita Nahdlatoel Oelama merupakan transformasi dari Swara Nahdlatoel Oelama yang dilakukan oleh KH Mahfoedz Siddiq pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi tahun 1934. Bertindak sebagai Penasihat yaitu KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi adalah KH Mahfudz Siddiq. Redaktur antara lain KH Ilyas dan KH Wahid Hasyim. Sedangkan Direktur yaitu KH Abdullah Ubaid.
Para kiai pengelola majalah ini mendorong pembaca agar menjaga kemuliaan majalah Berita Nahdlatoel Oelama karena banyak berisi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Perhatian tersebut disematkan di bagian cover depan bagian bawah berbunyi: Oleh karena ini madjallah memoeat banjak kalimat moe’adzzomah dari ajat-ajat Al-Qoer’an dan Chadits2 Nabi, maka wajib atas toean-toean pembatja oentoek memoeliakan ini madjallah.
Para kiai pesantren memahami betul peran media untuk mengabarkan dan mendakwahkan Islam. Lebih dari itu, Indonesia yang kala itu masih terkungkung penjajahan mendorong para kiai untuk memiliki media sebagai penghubung pergerakan nasional kepada masyarakat secara luas. Di tubuh NU sendiri, munculnya media berawal dari Swara Nahdlatoel Oelama. Kelahiran Swara Nahdlatoel Oelama satu setengah tahun setelah NU lahir yaitu pada bulan Juni 1927. Majalah bulanan terbitan pertama ini berbahasa Jawa dan beraksara pegon.
Aksara arab pegon berbahasa Jawa ini punya cerita tersendiri di kalangan para kiai NU untuk persoalan strategis menghadapi penjajah. Penjajah yang senantiasa mengendus gerak-gerik para kiai dan santri kala itu juga terus berupaya dengan memahami apa yang mereka sebar melalui media. Dengan menulis informasi dan kabar menggunakan aksara pegon, penjajah tidak akan mengerti isi dari berita-berita yang NU sebarkan.
Terbitnya Swara Nahdlatoel Oelama disusul munculnya majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama pada Januari 1928. Kemudian majalah Berita Nahdlatoel Oelama pada tahun 1931. Tiga majalah itu hidup berdampingan. Majalah yang disebut terakhir masih terbit hingga pada tahun 1953. Ada juga Swara Ansor NO dan Soeloeh Perdjoeangan.
Tumbuhnya media-media NU pada zaman penjajahan tersebut menunjukkan bahwa peran dan fungsi media sangat dibutuhkan oleh para kiai NU dalam berdakwah maupun mendorong propaganda kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun demikian, munculnya gerakan-gerakan NU dibidang pers dan jurnalisme, utamanya adalah edukasi keagamaan, sosial, budaya, dan politik kebangsaan.
Penulis: Fathoni Ahmad