Abbasiyah tidak ingin perkembangan peradaban hanya terjadi di Baghdad sehingga membuka Bashrah dan Kufah sebagai kota pengembangan ilmu pengetahuan selain di Baghdad sebagai ibu kota utama. Perkembangan dinasti-dinasti kecil itu juga awalnya sebagai konsep pengembangan wilayah berbasis otonomi. Di antara dinasti kecil yang berdiri ialah Dinasti Murabithun pada abad ke-11.
Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2014) menjelaskan, Dinasti Murabithun pada awalnya merupakan sebuah paguyuban militer keagamaan yang didirikan oleh seorang Muslim yang saleh di sebuah ribath (dari sini nama Murabithun), sejenis padepokan masjid yang dibentengi di sebuah pulau di Senengal (kini salah satu negara di Afrika bagian barat).
Anggota-anggota pertamanya terutama berasal dari Lamtunah, sempalan dari suku Sanhaji yang orang-orangnya hidup sebagai pengembara di Padang Sahara. Salah satu keturunan mereka ialah Suku Thawariq (Touareg) memiliki kebiasaan mengenakan cadar yang menutupi mata di bawah wajah.
Ibnu al-Khathib dalam Hulal yang dikutip Philip K. Hitti menyebut cadar merupakan adat. “Adat mereka yang aneh ini memunculkan nama lain, Mulatstsamun (para pemakai cadar) yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun,” tulis Philip K. Hitti (2014: 689).
Yusuf ibnu Tasyfin (memerintah pada 1061-1106) yang juga salah seorang pendiri kekaisaran Murabithun, pada 1062 membangun kota Maroko, yang menjadi ibu kota pemerintahannya yang juga diteruskan oleh keturunannya. Adapun di dataran Spanyol (Andalusia), mereka lebih memilih Kota Seville daripada Kordova sebagai ibu kota kedua. Para raja Murabithun mempertahankan otoritas penguasa dan menyandang gelar amirul muslimin.
Dalam sejumlah literatur tidak dijelaskan tradisi bercadar di masa dinasti Murabithun hanya dikenakan oleh kaum perempuan saja. Hidup sebagai pengembara di Padang Sahara membuat kaum Murabithun, baik yang laki-laki maupun perempuan mengenakan cadar sehingga disebut kaum Mulatstsamun.
Menjelang pertengahan abad ke-12 Murabithun mulai retak. Di Spanyol Mulk al-Thawaif menolak kekuasaannya. Di Maroko sebuah gerakan keagamaan (muwahidun) mulai mengingkari. Pada tahun 1147 penguasa terakhir Murabithun di Marakesy terbunuh dan mulailah Muwahidun bergerak ke Spanyol.
Soal penggunaan cadar (Arab: niqab) di masa pra-Islam, Abdul Halim Abu Syuqqah dalam An-Niqab fi Syariat al-Islam (2008) seperti dinukil Islami menyatakan bahwa niqab merupakan bagian dari salah satu jenis pakaian yang digunakan oleh sebagian perempuan di masa Jahiliyyah. Kemudian model pakaian ini berlangsung hingga masa Islam. Nabi Muhammad SAW tidak mempermasalahkan model pakaian tersebut, tetapi tidak sampai mewajibkan, mengimbau ataupun menyunahkan niqab kepada perempuan.
Andaikan niqab dipersepsikan sebagai pakaian yang dapat menjaga marwah perempuan dan washilah untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka -sebagaimana klaim sejumlah pihak- niscaya Nabi Muhammad SAW akan mewajibkannya kepada istri-istrinya yang dimana mereka (istri-istri Nabi) adalah keluarga yang paling berhak untuk dijaga oleh Nabi. Namun justru Nabi tidak melalukannya. Juga tidak berlaku bagi sahabat-sahabat perempuan Nabi.
Hal ini merupakan bukti bahwa niqab -meskipun terus ada hingga di masa Islam- hanyalah sebatas jenis pakaian yang dikenal dan dipakai oleh sebagian perempuan. Kemudian bagi ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi) memiliki perbedaan dimana mereka dikhususkan atas kewajiban mengenakan hijab di dalam rumah dan menutup semua badan dan wajahnya ketika keluar dari rumah sebagai bentuk memperluas hijab yang diwajibkan di dalam rumah.
Penulis: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua