Salah satu urusan yang ditangani putra Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saat menjadi menteri agama adalah penyelenggaraan urusan haji. Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo edisi 24 april 2011, beberapa tahun Indonesia merdeka, terjadi kekosongan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Salah satu penyebab kekosongan tersebut adalah keadaan yang masih sulit dan genting.
Sebagaimana diketahui, setelah merdeka, Indonesia tidak serta-merta mendapatkan keamanan dan pengakuan kedaulatan, apalagi kemakmuran. Penjajah Belanda yang membonceng tentara Sekutu berusaha kembali ke Indonesia. Situasi semacam itu dihadapi bangsa Indonesia dengan perjuangan fisik seperti pertempuran hingga dan diplomasi. Di antara gangguan keamanan yang terjadi setelah Indonesia merdeka adalah agresi militer Belanda I dan II.
Tokoh utama NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan fatwa tidak wajib beribadah haji ketika negara dalam keadaan perang. Fatwa tersebut kemudian menjadi Maklumat Menteri Agama Nomor 4 tahun 1947, yang menyatakan ibadah haji dihentikan selama negara dalam keadaan genting.
Setekah menikmati alam kemerdekaan, pada tahun 1952, jamaah calon haji Indonesia membludak dalam ukuran masa itu. Dalam laporan Kementerian Agama yang dikutip Tempo, tahun Indonesia mengantongi calon jamaah haji sebanyak 14 ribu orang. Padahal perjalanan waktu itu sangat tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar 6 bulan karena masih menggunakan kapal laut.
Untuk melayani belasan ribu jamaah haji, Indonesia tak cukup untuk mengangkutnya. Menteri Agama KH Wahid Hasyim tak ingin umat Islam kecewa. Ia pun mencari kapal tambahan dengan mendatangi Jepang. Berikut ini laporan Tempo yang menceritakan upaya dia.
“Setelah mampir di Bangkok dan Hong Kong, Menter; Agama KH Wahid Hasym tiba di Tokyo pada 1 April 1952. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: mendapatkan kapal murah untuk mengangkut jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci,” tulis Tempo.
Menurut Tempo, setahun sebelum upaya yang dilakukan Kiai Wahid itu, yakni tahun 1951, pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji dengan menyiapkan kapal dari Kongsi Tiga dan Inaco, tapi hanya mampu membawa 11 ribu orang. Padahal jumlah peminat haji ada sekitar 14 ribu orang.
“Wahid dan timnya berangkat ke Negeri Sakura untuk mencari kapal tambahan. Setelah 18 hari di sana, akhirnya ia mendapatkan kapal milik maskapai Osaka Sissen Kaisha. Seluruh perjalanan dan perundingannya itu dia laporkan secara terperinci di akhir masa jabatannya,” ungkap Tempo.
Menurut Tempo, sebagai menteri, Kiai Wahid sebenarnya mempunyai hak untuk menggunakan tiket gratis berhaji saat itu. Namun, ia tidak pernah menggunakannya.
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad