Fragmen

Kisah Zakaria Sang Kusir Delman: Diboikot Tetangga, Ditolong Sesama Warga NU

Sabtu, 15 Maret 2025 | 03:10 WIB

Kisah Zakaria Sang Kusir Delman: Diboikot Tetangga, Ditolong Sesama Warga NU

Logo NU (Foto: NU Online)

Jadi anggota NU pada masa awal berdiri tidaklah mudah, terutama di daerah seperti Tasikmalaya, yang pada awal berdiri menghadapi penentangan dari berbagai pihak, kiri kanan, depan belakang. Penentangan itu berdampak kepada tumbuh kembangnya organisasi yang lamban, bongkar pasangnya pengurus, dan keluar masuknya anggota. 


Kalaupun ada anggota yang setia, mereka akan berhadapan dengan pihak lain yang membencinya. Pada 1937, ada dua anggota NU Tasikmalaya bernama Mad Enoch dan Moehi. Tempat milik keduanya diklaim milik Soekatma dan Soedjai yang didukung lurah setempat. 


Anehnya lurah tanpa mempertimbangkan pendapat Mad Enoch dan Moehi, yang merasa selama ini tanah mereka tidak bermasalah dengan pihak mana pun. 


Karena Mad Enoch dan Moehi tak menerima klaim Soekatma dan Soedjai, menurut Sipatahoenan, No. 65, 22 Maret 1937, lurah ngaloerakeun ketjap-ketjap anoe teu pantes, henteu sopan pikeun hidji loerah [Lurah mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas, tidak sopan diucapkan bagi seorang lurah]. 


“Si bab* sia teh, andj*ng sia teh, toekang ngalebok bab* sia teh. Toekang ngalebok andj*ng sia teh. Si N.O. sia teh, si Nahdoh sia teh, toekang ngagoejoer-goejoer makroeh, sia teh, tapi noe ngalebok sia.”


[Si bab* kamu. Si anj*ng kamu. Tukang makan daging bab* kamu. Tukang makan daging anj*ing kamu. Dasar si NU. Dasar si Nahdoh, tukang mengurus masalah makruh, tapi yang makan justru kamu!] 


Kisah Zakaria dan Istrinya
Selain Mad Enoch dan Moehi, dua tahun sebelumnya, ada lagi cerita lain yang menimpa anggota NU Tasikmalaya, Zakaria dan istrinya. Pada sebuah laporan Sipatahoenan diceritakan Zakaria dan istrinya yang tinggal di Leuwisari. Di kampung itu hanya mereka berdua yang merupakan anggota NU. 


Berikut ini laporan tentang kisah keluarga itu dengan judul “Disasaak Teroes Digoebragkeun ka Leuwi” [Dihancurkan Terus Dilemparkan ke Lubuk]. Judul berita di koran tersebut menggunakan kata sangat ekstrem, yaitu disasaak


Menurut RA Danadibrata dalam Kamus Basa Sunda, (2006: 613) disasaak berasal dari kata dasar sasaak yang berarti, “dibasakeun kana awak jelema atawa sato hewan anu diwewejet ku sato galak; bangke embe disasaak ku maung.” 


Berdasarkan kamus itu, disasaak bisa diartikan dalam bahasa Indonesia dengan manusia atau hewan yang dihancurkan ibarat binatang buas yang mencabik-cabik mangsanya, seumpama harimau yang mencakar embe.  


Kata disasaak dengan makna seperti itu digunakan koran Sipatahoenan, No. 138, 21 Juni 1935 untuk menggambarkan nasib buruk yang menimpa Zakaria.


Untuk diketahui, berdasarkan koran tersebut, Zakaria sehari-hari beraktivitas sebagai seorang kusir delman. Pada Sipatahoenan, alat transportasi Zakaria dengan penarik seekor kuda itu dilengkapi dengan kahar


Menurut Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (2000: 318), kahar adalah kendaraan beroda dua yang ditarik seekor kuda seperti delman, agak tinggi dan memanjang, tidak seperti kotak. Di Garut disebut sado di Majalengka disebut per. 


Sementara istri Zakaria, selain sebagai ibu rumah tangga, juga seorang pedagang di warung miliknya. Pasangan keduanya memiliki anak laki-laki yang memasuki waktunya disunat. Rencananya sunatan itu akan dirayakan dalam bentuk tasyakuran sekaligus peringatan Maulid Nabi dengan mengundang penceramah beberapa ajengan. 


Biasanya pada masa itu, kegiatan pribadi anggota maupun tokoh NU sering dimanfaatkan untuk propaganda organisasi. Meski di berita tersebut tidak disebutkan siapa dan berapa orang penceramahnya, tapi kemungkinan besar merupakan ajengan pengurus NU yang terdiri dari beberapa orang. 


Pasalnya, pada masa itu, saat NU di Tasikmalaya sedang ditumbuhkembangkan para kiai, berdasarkan berita-berita di Sipatahoenan dan Al-Mawaidz, menunjukkan tren seperti itu. 


Laporan Lengkap Sipatahoenan
Berikut ini berita Sipatahoenan No. 138, 21 Juni 1935 berjudul “Disasaak Teroes Digoebragkeun ka Leuwi” yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan ejaan lama, berikut terjemahannya: 


“Zakaria, lid Nahdoh oerang Leuwisari malem Ahad kamari teh hadjat njoenatan, sakalian moeloedan. Biasa bae nanggap adjengan-adjengan, nganasehat oerang rea. Ti anggalna keneh geus boet-bet bedja.”


[Zakaria, seorang warga NU Leuwisari pada Sabtu malam yang lalu, berniat mengadakan tasyakuran atas sunatan anaknya sekaligus peringatan Maulid Nabi. Ia mengundang ajengan-ajengan untuk berceramah. Niat tasyakuran itu tersebar kemana-mana].  


“Dina malem Djoemaah, samemehna nasehat, kaharna geus aja noe ngagoesoer, teroes diroeksak tendana, kasoerna bandana teu ngari. Beusi-beusi sakoer noe beunang diroeksak dipekprekan. Bangkena kahar digoesoer ka sawah teroes digoebragkeun kana leuwi anoe loehoerna gawir dua satengah toembak.”


[Pada Kamis malam sebelum acara tasyakuran berlangsung, kahar delmannya ada yang menggusur, sementara tenda untuk tasyakuran dihancurkan. Bahkan kasur dan harta benda lain miliknya tidak tersisa. Besi-besi dan benda lain yang bisa dirusak juga dimusnahkan. Sementara kahar delmannya digusur ke sebuah sawah. Lalu dilemparkan ke sebuah jurang sedalam 7 meter]. 


“Noeroetkeuu taksiran, oepama diomean deui moal tjoekoep koe f 40,-. Zakaria djaba ti ngoesiran tah, pamadjikanana boga waroeng. Oge waroengna bedjana dibaekot.” 


[Ditaksir, jika dipulihkan kembali kerugian Zakaria tak kurang dari F 40,-. Zakaria yang seorang kusir dan istrinya yang berjualan di warung yang kini diboikot tetangganya.] 


“Waktoe kahar, bangkena, dihandjatkeun, tatanggana mah teu aja noe mantoean, tapi loba ihwan-ihwanna ti Tjilenga noe noeloengan.”


[Waktu kahar diangkat kembali, tak seorang pun tetangganya yang membantu. Ia hanya dibantu saudara-saudaranya dari Cilenga]. 


“Oepama ditilik kana hesena belekena narik kahar ka sawah kawas noe ngaroeksakna teh lain hidji doea djelema.”


[Sepertinya, berdasarkan tingkat kerusakan yang dialaminya, pelaku tidak hanya seorang.] 


“Ieu perkara geus aja di tangan poelisi. Moega-moega aja kateranganana anoe tetela... “


[Kasus ini sudah dilaporkan kepada polisi. Semoga ada titik terang penyelesaian kasus ini]. 


“Noeroetkeun bedja noe katampa ti pangoeroes N.O. Zakaria teh djelema hade tingkah lakoena hade kitoe deui hade boedi bahassana. Kalangan N.O. boga kajakinan, Zakaria teu boga dosa.” 


[Berdasarkan satu informasi dari pengurus NU, Zakaria adalah warga yang bertingkah laku baik dan sopan tutur katanya. Kalangan NU berkeyakinan Zakaria tak bersalah dalam kasus itu.] 


“Koe sabab eta pangoeroes N.O. rek daja oepaja noeloengan ihwanna koe djalan halal, oepamana menta derma ka ichwanna reudjeung noe resep ka N.O. “


[Oleh karena itu, pengurus NU akan berdaya upaya menolong anggotanya dengan jalan yang sesuai aturan hukum serta akan meminta para dermawan dan anggota NU untuk membantunya.] 


Solidaritas dan Penanganan 
Ada dua hal yang perlu dicatat dari berita tersebut. Pertama, solidaritas sesama anggota NU. Sebagaimana disebutkan pada berita tersebut, Zakaria dan istrinya tinggal di Leuwisari. Hanya mereka berdua yang merupakan anggota NU. Karena ia mendapatkan penindasan dari tetangganya, anggota NU dari desa tetangga menolongnya. 


Para anggota NU yang menolong itu berasal dari Desa Cilenga, yang berdasarkan Google Map, jaraknya sekira 1.5 km ke Leuwisari. Di desa itu tinggal salah seorang Syuriyah NU Tasikmalaya, kiai yang dihormati pada masanya, yaitu Ajengan KH Syabandi atau kadang-kadang ditulis Sobandi. Ia merupakan salah guru tokoh NU saat itu, KH Ruhiat Cipasung dan KH Zainal Musthafa Sukamanah.  


KH Syabandi menurut Imam Mudofar pada (“Mengenal Sosok Mama Cilenga, ‘King Maker’ NU Tasikmalaya”, dimuat NU Online Jabarpada 20 April 2021) pernah menimba ilmu di Tanah Suci Makkah dan berguru kepada Syekh Mahfudz at-Tarmasi (Tremas, Pacitan, Jawa Timur), yang merupakan guru kiai-kiai NU, di antaranya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari).


Karena ada kiai besar di Cilenga, warga NU-nya pun cukup kuat dan loyal. Hal itu bisa diukur pada laporan Comite Zakat NU Tasikmalaya yang dilaporkan Al-Mawaidz, No 27 edisi 3 Juli 1934. Berdasarkan majalah itu, NU Ranting CIlenga, mendapatkan 583 kulak, tertinggi kedua, dari Ranting NU Rawa yang mendapatkan 832 kulak. 


Menurut Sipatahoenan, waktu kahar milik Zakaria diangkat kembali dari jurang sedalam 7 meter itu, tak seorang pun tetangganya di Leuwisari yang membantu. Orang-orang yang membantu hanyalah ichwan-ichwan (saudara-saudaranya yang seorganisasi NU) dari Cilenga. 


Dari informasi itu, tampak solidaritas warga NU yang memiliki perasaan senasib sepenanggungan kepada sesama anggota. 


Kedua, pengurus dan warga NU membela sesama anggota tidak dengan cara main hakim sendiri, tapi menempuh jalur hukum. Mungkin sebetulnya bisa saja warga NU membela dengan menggunakan cara yang sama kepada tetangga Zakaria, tapi mereka menolak cara seperti itu. 


Cara-cara NU yang mengedepankan penyelesaian masalah secara hukum yang terjadi juga kepada Diran, Nahdliyin asal Jember. Ia yang bersifat tidak jujur, justru pengurus NU yang melaporkannya kepada yang berwajib.  

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.