Kontroversi Sayyid Usman bin Yahya Kritik Aliran Wahabi dan Rafidhah
Ahad, 7 Maret 2021 | 23:00 WIB
Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (dikenal dengan Sayyid Usman Batavia, 1822-1913 M) adalah mahaguru ulama-ulama di tanah Betawi. Sosok Sayyid Usman ini telah banyak memberikan perhatian besar terhadap pemikiran keagamaan di Nusantara.
Secara umum, terdapat dua alasan mengapa beliau sangat disegani oleh banyak tokoh elit agama di Nusantara. Pertama, karena predikat sebagai mufti Betawi sehingga pendapatnya menjadi pertimbangan dan rujukan mencakup hampir seluruh daerah di Indonesia. Kedua, karena jabatannya sebagai penasihat pemerintah Belanda yang menjadi media dalam menentukan keputusan hukum atas persoalan keagamaan yang menimpa umat Islam di Hindia Belanda.
Dua alasan tersebut sebagai landasan pengaruh ketermukaan Sayyid Usman di Nusantara. Bahkan menurut Azyumardi Azra, Sayyid Usman adalah ulama Hadrami yang paling terkemuka di Nusantara pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Bagi ulama yang mencapai predikat sebagai mufti, pasti memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Tercatat setidaknya terdapat 120 karangan Sayyid Usman menurut katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Karangan tersebut terbagi dua macam: berbahasa Arab dan berbahasa Jawi (Arab Melayu). Karya pertamanya berjudul Manasik Haji dan Umrah (1875) dan karangan terakhir berjudul Fardhu Nasihat (1912).
Produktivitas Sayyid Usman dalam karya-karyanya cenderung mengambil perhatian kepada masalah hukum (fiqih), teologi (aqidah), akhlak (tasawuf), hadits, doa-doa dan bahasa Arab. Salah satu karyanya yang menjadi perhatian ulama serta dipakai dalam pengajian adalah Kitab Sifat Dua Puluh (1880), berisi ajaran-ajaran tauhid mengenai sifat-sifat Tuhan menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di samping itu, ketermukaan Sayyid Usman yang mengundang perhatian para cendikiawan juga dilihat dari sikap pemikirannya yang kontroversial. Muhammad Noupal mengungkapkan di antara kontroversi Sayyid Usman yang mengemuka adalah ketika beliau menolak membacakan doa di sebuah perhelatan seorang Arab karena di situ terdapat gambar Ratu Wilhelmina. Tetapi beliau membacakan doa untuk kesejahteraan dan keselamatan Ratu di hari ulang tahunnya pada 1989. Beliau juga menolak ide-ide pembaharuan dari Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, tetapi menerima kolonisasi non-Muslim atas wilayah muslim.
Alih-alih menjadi masalah krusial yang menimbulkan banyak pertanyaan, sisi pemikiran Sayyid Usman yang kontroversial ini perlu pengkajian lebih dalam agar dapat ditemukan suatu penafsiran yang sesuai. Namun, dari sekian pemikirannya yang kontroversial, Sayyid Usman tetap berada posisi intelektual keislaman yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah.
Salah satu bukti yang memperkuat hal tersebut adalah kritikannya terhadap aliran Wahabi dan Rafidhah. Dalam penelitian berjudul Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Pemikiran Pembaharuan Islam: Studi Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia oleh Noupal (2014), secara garis besar pandangan kritis Sayyid Usman dan para ulama Ahlussunnah terhadap aliran Wahabi dan Rafhidah dapat ditinjau di karyanya berjudul I’anat al-Mustarsyidin (1991).
Terkait dengan sikap Sayyid Usman terhadap aliran Wahabi adalah pendapat mereka mengenai status kekafiran bagi orang yang bertawassul dan beristighotsah, menganggap syirik tradisi ziarah kubur dan mempercayai karomah kewalian, serta melarang adanya pembacaan wirid Dala’il al-Khairat.
Kaum Wahabi menganggap bahwa para Nabi dan wali Allah jika telah meninggal dunia, maka mereka sudah tidak memiliki pangkat lagi. Mereka juga berdalih bahwa orang yang melakukan ritual ziarah kubur sama saja dengan para penyembah berhala. Hal yang paling mengecewakan adalah mereka juga banyak membunuh para ulama di Haramain dan orang-orang yang tidak setuju dengannya, serta sangat mudah melegitimasi status kekafiran terhadap sesama muslim dengan dalil-dalil Al-Qur'an.
Bantahan Sayyid Usman pada masalah ziarah kubur adalah jika menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat i’tikaf serta membuat gambar atau lukisan di dalamnya, maka bentuk larangan seperti itu yang dapat menimbulkan syirik. Sedangkan pada faktanya, ritual ziarah dilakukan dengan mengucapkan salam, memanjatkan doa, serta menjaga akhlak, sehingga hal tersebut bagi orang yang berakal tidaklah sebuah larangan.
Tidak hanya itu, beliau juga menyebutkan dalil-dalil syariat baik dari Al-Qur'an, sunnah, dan ijma’ ulama terkait kebolehan ziarah kubur sebagaimana dijelaskan dalam karyanya sebagai bukti bahwa tradisi ziarah kubur yang dilakukan mayoritas umat Islam di Nusantara tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan dianjurkan.
Begitu juga dalam permasalahan tawassul dan istighotsah, hal serupa yang dilakukan Sayyid Usman adalah dengan mengemukakan argumentasi berdasarkan dalil-dalil syariat yang dapat dipertanggungjawabkan. Beliau beranggapan bahwa paham Ahlussunnah menyatakan sah bertawassul kepada Nabi Muhammad baik ketika hidup atau sudah meninggal, termasuk kepada Nabi-Nabi dan Rasul lainnya.
Termasuk pada permasalahan karamah kewalian, Sayyid Usman menjelaskan bahwa karamah itu adalah anugerah dari Allah, bukan disebabkan oleh perbuatan manusia. Aliran Ahlussunnah tidak meyakini pengaruh, baik atau buruknya sesuatu yang dilandaskan dari makhluk, melainkan hanya kepada Allah.
Selanjutnya dalam menyikapi gerakan Rafidhah, kritik Sayyid Usman yaitu mengenai pemikiran mereka yang sering mencaci para sahabat Nabi. Menurut beliau, sudah sangat terang benderang penjelasan dalam Al-Qur'an, sunnah, dan pendapat para ulama tentang keutamaan yang dimiliki para sahabat. Paham Ahlussunnah telah sepakat akan kewajiban meyakini keutamaan (Afdhaliyah) dan keadilan (‘Adalah) dari para sahabat, sehingga hal itu juga berdampak pada kewajiban untuk menghormati dan mencintai, serta haram menghina mereka.
Dalam hal ini, Sayyid Usman mengutip kitab al-Tiryaq al-Nafi’ karangan Habib Abubakar bin Syahabuddin bahwa orang yang mencaci sahabat adalah dosa besar. Selain itu, beliau juga mengutip ungkapan Syekh Ahmad bin Muhammad al-Qusyasyi yang mengatakan bahwa sangat mengherankan bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir, ia membenci para sahabat dengan membicarakan pertikaian dan kekurangan mereka, setelah Allah sendiri mengatakan ridho kepada mereka.
Dalam menyikapi kedua aliran tersebut, Sayyid Usman tidak lepas dari pendapat para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang terkoneksi dengan ulama-ulama di Makkah, Madinah, dan Hadramaut. Di antaranya adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Ibnu Hajar al-Haitami, Habib ‘Alwi bin Ahmad al-Haddad, Syekh ‘Atha al-Makki, Syekh Abdullah bin Dawud al-Hanbali, dan Syekh Muhammad Said Babasil serta para ulama lainnya.
Dari rangkaian penjelasan di atas, tidak mustahil jika Sayyid Usman menyatakan bahwa kedua aliran tersebut adalah bidah dan sesat, bahkan menganggapnya sebagai musibah atau bencana besar bagi umat Islam. Beliau juga sangat bertanggungjawab untuk menyampaikan perspektifnya itu kepada masyarakat agar tidak ternodai dengan pemahaman yang menyesatkan.
Pandangan yang beliau kemukakan pun tidak mentah secara konsep berargumentasi, yakni berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, sunnah, ijma’ para ulama, di samping penafsirannya yang juga sesuai paham aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Semua itu beliau lakukan karena berpegang pada hadis Nabi yang mengatakan, "Jika telah tampak bidah sementara orang yang berilmu berdiam diri, maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia."
Dengan begitu dapat dipahami bahwa penentangan Sayyid Usman terhadap dua aliran tersebut sebagai bagian dari pengukuhan bahwa tradisi dan ritual yang selama ini dilakukan masyarakat Muslim di Nusantara khususnya Indonesia seperti berziarah, tawassul, istighotsah, dan sebagainya tidak menyalahi al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ para ulama. Akan tetapi, semua itu berdasarkan dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan dalam syariat Islam.
Selain itu, penentangan tersebut juga sebagai langkah dalam membentengi aliran-aliran yang bid’ah dan sesat serta bertentangan dari landasan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Secara sederhana, mungkin saja bahwa hal tersebut yang menjadi anggapan sebagian peneliti dari sisi pemikiran Sayyid Usman yang kontroversial. Namun, itulah sebabnya diperlukan kajian lebih dalam supaya dapat diketahui dasar dari pemikirannya yang kontroversial itu.
Sebagaimana pembahasan yang sudah dikemukakan di atas, dasar dari sikap Sayyid Usman menentang ide-ide pembaharuan adalah jawaban positif kepada umat Islam Indonesia agar tidak cukup sekedar menyerap sesuatu yang berasal dari luar dengan memaknai dari kulitnya saja. Diperlukan pemaknaan yang mendalam sehingga tidak mudah terjebak atau bahkan tergoyahkan.
Ahmad Rifaldi, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.