Fragmen

Menertawakan Diri Sendiri: Resep dari Gus Dur

Kamis, 19 Desember 2019 | 03:00 WIB

Menertawakan Diri Sendiri: Resep dari Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Salah seorang sahabat Gus Dur di Forum Demokrasi Romo Franz Magnis Suseno kala itu diminta sejumlah tokoh yang juga kawan-kawan Gus Dur untuk memberikan masukan dan pandangan untuknya mengenai situasi politik yang dihadapi. Empat minggu sebelum Gus Dur dilengserkan pada 23 Juli 2001, delapan orang kawan mendatangi Gus Dur di istana.

Di istana ada putri Gus Dur yang senantias setia mendampingi ayahnya, Yenny Wahid. Romo Magnis berbicara apa adanya kepada Yenny bahwa Gus Dur sebaiknya mundur ketimbang diturunkan. Mendengar aspirasi tersebut, Yenny mewanti-wanti mungkin Gus Dur bakal marah.

Tetapi Yenny tetap mempersilakan Romo Magnis dan kawan-kawan untuk menyampaikan langsung saran tersebut kepada Gus Dur. Mendengar saran untuk mundur, ternyata Gus Dur tidak marah di tengah situasi yang serba panas kala itu.
 

Dengan tenang Gus Dur menjelaskan kepada kawan-kawannya yang aktif di Forum Demokrasi mengapa dirinya tidak mau melakukan pengunduran diri. Intinya, apa yang dia lakukan benar. Justru DPR dan MPR-lah yang inkonstitusional.

Di tengah ketegangan politik yang menginginkannya untuk mengundurkan diri itu, Gus Dur justru sempat menanggapinya dengan joke: “Saya disuruh mundur? Maju saja masih dituntun?” kata Gus Dur disambut tawa kawan-kawannya itu. Hal ini dikisahkan dalam buku Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017).

Ketegangan tersebut tidak lantas memunculkan sikap tegang pula pada diri Gus Dur. Namun sebaliknya, riwayat di atas menunjukkan bahwa Gus Dur berupaya merefleksikan realitas politik dengan kelakar untuk mencairkan suasana. Gus Dur menertawakan dirinya sekaligus memberikan pesan kepada orang lain agar tetap riang di tengah ketegangan. Bahkan, orang lain menerima secara terbuka kelakar tersebut dan ketawa bersama.
 

Gus Dur memang sangat lihai memainkan lelucon penertawaan diri sendiri sekaligus mencairkan ketegangan politik lewat humor. Dengan begitu, politik tak lagi muram dan hubungan sosial tidak kehilangan makna. Jika tingkat kemanusiaan yang tinggi ialah ketika seseorang mengenal dirinya sendiri, maka tingkat kelucuan tertinggi ialah ketika seseorang mampu menertawakan dirinya sendiri.

Soal menertawakan diri sendiri Gus Dur tulis dalam Kata Pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (1986): “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.”

Tidak sedikit kelakar lain dari Gus Dur yang mengandung unsur penertawaan diri sekaligus memberikan penyadaran bagi realitas sosial untuk menjadi sebuah pantulan atau refleksi kehidupan.
 

Salah satu humor Gus Dur yang paling dikenal adalah leluconnya soal kedekatan Tuhan dengan umat beragama. Ini juga mengandung unsur penertawaan diri terhadap sesuatu yang dianggap sakral tapi sering dipahami secara kaku: agama.

“Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhannya dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhannya aja pakai Toa.”
 

Beberapa pekan setelah menjadi Presiden RI pada 1999, Gus Dur berpidato di depan para tamu negara asing. Kegiatan tersebut berlangsung di Denpasar, Bali. Gus Dur berpidato dengan menggunakan bahasa Inggris tanpa teks. Di awal pidato, kiai yang saat lahir diberi nama Abdurrahman Ad-Dakhil ini berujar:

“Saya dan Megawati adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang lengkap: saya tidak bisa melihat, dia tidak bisa ngomong.”

Semua tamu ger-geran tanpa kecuali. Gus Dur bersikap biasa saja melihat orang tertawa bahak-bahak. Wajahnya lempang belaka. Waktu itu banyak omongan soal wakil presiden yang irit bicara. Megawati Soekarnoputri jarang sekali memberi komentar soal apapun.

Namun, di tengah humor segar dan cerdasnya, Gus Dur tetap memberikan banyak pelajaran kehidupan yang sarat hikmah. Franz Magnis-Suseno pernaha mengatakan bahwa Gus Dur memiliki kelapangan psikologis, bahkan teologis.
 

Sebuah riwayat yang diceritakan KH Marzuqi Mustamar mengungkapkan, di tengah perjalanan dinas dengan iring-iringan ketat, tiba-tiba mobilnya belok seenaknya sendiri menghampiri penjual durian di tepi jalan.

Suatu ketika Gus Dur (masih menjabat presiden) berkunjung ke kota Malang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba beliau memerintahkan supirnya untuk berhenti.

"Kita beli duren dulu!!" kata Gus Dur.

Akhirnya rombongan kepresidenan berhenti semua. Setelah membeli beberapa durian, Gus Dur berkata, "Yang di amplop itu berikan ke ibu ini!"

Sang Ajudan seperti tidak percaya dengan apa yang didengar. Sang Ajudan pun mendekati Gus Dur sambil berbisi, "Pak, uang yang di amplop sepuluh juta."

"Iya kasihkan semua!" kata Gus Dur.

Akhirnya Sang Ajudan pun memberikan amplop kepada Si Penjual durian. SUBHANALLOH seketika Si Penjual durian yang notabene adalah seorang ibu yang usianya tidak muda lagi, langsung bersimpuh di depan Gus Dur.

"Alhamdulillah... Yaa Alloh. Matur nuwun Pak Gus Dur. Niki wau anak kulo mboten pareng dibeto wangsul saking rumah sakit, menawi mboten saget mbayar sedoso juta. Anak kulo dirawat wonten rumah sakit. (Alhamdulillah... Yaa Allah, Terima kasih Pak Gus Dur. Baru saja anak saya tidak bisa dibawa pulang dari rumah sakit, jika tidak bisa membayar uang sepuluh juta).”

Begitulah sosok Gus Dur yang tak hanya sarat dengan kelakar, tetapi juga penuh dengan hikmah yang mengakar.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon