Belum lama ini isu lingkungan menjadi pembicaraan publik. Bahkan sampai KH A Mustofa Bisri ikut bersama-sama warga masyarakat Rembang untuk menyuarakan keadilan dalam menjaga lingkungan. Terkait hal ini, warga ini bisa kembali merujuk pada keputusan Muktamar ke-29, di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994.
Dalam Muktamar itu diputuskan bahwa pencemaran lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Muktamar yang digelar di pesantren asuhan KH Ilyas Ruhiyat (Rais Aam PBNU, 1992-1999) ini merupakan bukti keteguhan NU yang berani lantang berjihad menjaga lingkungan hidup. Keputusan Muktamar ini bukan saja menetapkan hukum haram, tetapi juga mengategorikan sebagai kriminal, alias masuk juga dalam ranah hukum positif. Dengan begitu, merusak lingkungan bukan saja mendapatkan stempel "haram" dari agama, tetapi harus mendapatkan "hukuman" yang setimpal dari negara.
Pada 23 Juli 2007, PBNU juga kembali menegaskan melalui Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNHLN) yang memutuskan bahwa pemerintah dan rakyat wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, demi keutuhan NKRI. Secara khusus, PBNU mengajar warga NU dan rakyat Indonesia jihad melestarikan lingkungan (jihad bi'ah) dengan tetap berpedoman pada kaidah tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma'ruf nahi munkar. Semua ini sebagai bentuk cinta tanah air dan menjaga jati diri bangsa tercinta.
Teladan nyata sebenarnya sudah dipraktikkan oleh KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dalam menjaga lingkungan hidup. Dalam sejarahnya hidupnya, Kiai Hasyim sangat gemar bercocok tanam serta menganjurkan warga NU dan masyarakat untuk bercocok tanam. Bagi Kiai Hasyim, cocok tanam adalah pekerjaan yang sangat mulia. Walaupun tidak secara verbal bicara lingkungan hidup, tetapi gerakan nyata Kiai Hasyim sangat jelas sebagai wujud komitmennya dalam menjaga lingkungan hidup sekaligus sebagai lahan penghidupan warga. Dengan bercocok tanam, Kiai Hasyim dan para santrinya bisa mandiri, bisa membantu sesama, sekaligus menjaga kelestarian alam.
Keteladanan yang sama dijalankan KH. Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU 1999-2014. Dikenal sebagai kiai yang teguh menjaga prinsip dan progresif memberdayakan masyarakat, Kiai Sahal sangat peduli dengan lingkungan. Bagi Kiai Sahal (1988), keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup – bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini akibat dari kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan yang akan menyulitkan generasi berikutnya.
Bagi Kiai Sahal, pesantren harus hadir secara nyata bagi kelestarian lingkungan hidup. Karena hidup bersama dengan denyut nadi masyarakat, pesantren tak boleh abai dengan kondisi lingkungannya. Pesantren harus bertanggungjawab dengan meningkatkan pribadinya untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna.
Hidup Sederhana
Perjuangan pertama-tama yang harus dilakukan dalam jihad melestarikan lingkungan, bagi Gus Mus, adalah hidup sederhana. Hidup berlebih-lebihan adalah pangkal utama kerusakan, termasuk dalam lingkungan hidup. Ini ditujukan buat semuanya, ya warga NU, para pejabat, termasuk ibu-ibu Rembang yang berjuang menjaga pegunungan Kendeng Rembang sampai demonstrasi di depan Rektoran UGM, 20 Maret 2015, karena ada peneliti UGM yang bersaksi dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, bahwa kawasan kars di Kendeng layak ditambang.
Jihad melestarikan lingkungan, yang pertama-tama dijalankan dengan hidup sederhana, harus terus disuarakan kaum muda NU, khususnya para pemimpin muda NU baik di GP Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU, PMII, dan KMNU. (Muhammadun, aktif di LTN PWNU DIY)