Pada tahun 1935 tersebut atau di masa Kadipaten Praja Mangkunegaran dipimpin oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara VII, baru saja dibangun dan diresmikan sebuah studio baru SRV di Kestalan. (Foto: istimewa)
Adanya siaran dari radion ini, tentu menjadi peluang berharga, untuk semakin mengenalkan NU kepada khalayak luas. Di sisi lain, penggunaan alat radio pada penyelenggaraan muktamar ini, menjadi pertanda bahwa ulama NU tidak bersifat kaku terhadap perkembangan teknologi.
Setiap sore hari, yakni pukul 17.00 sampai dengan pukul 18.00, para peserta muktamar mendapat kesempatan untuk berpidato dan diperdengarkan ke seluruh penjuru dunia melalui radio S.R.V (Solossche Radio Vereniging) Mangkunegaran dan Radio S.R.I (Siaran Radio Indonesia) milik Keraton Kasunanan.
Pada tahun 1935 tersebut atau di masa Kadipaten Praja Mangkunegaran dipimpin oleh Kanjeng Gusti Mangkunegara VII, baru saja dibangun dan diresmikan sebuah studio baru SRV di Kestalan. Studio ini, setelah Indonesia merdeka menjadi RRI Surakarta.
Selama penyelenggaraan muktamar atau kongres, juga dilaksanakan beberapa rangkaian kegiatan yang tidak hanya diikuti para peserta muktamar, tetapi juga masyarakat sekitar. Seperti kegiatan shalat hajat secara berjamaah yang dilaksanakan selama dua kali, yakni di Masjid Mangkunegaran pada malam Kamis (14 Muharram) dan Masjid Agung Kasunanan pada malam Jumat (15 Muharram).
Usai shalat hajat kemudian dilanjutkan dengan acara Openbaar (pengajian umum). Pada saat penyelenggaraan Openbaar yang pertama, yakni malam Kamis sekitar pukul 23.00 malam, KH Hasyim Asy’ari beserta rombongan tiba di lokasi Kongres (Mangkunegaran).
Kemudian pada Openbaar di hari kedua, bertempat di Masjid Agung Surakarta. Kegiatan ini disiarkan pula oleh radio S.R.I (Siaran Radio Indonesia) milik Keraton Kasunanan. Acara dibuka oleh KH Abdul Wahab yang naik ke atas mimbar dan dengan diiringi bunyi meriam sebanyak tiga kali, maka secara resmi acara muktamar telah dibuka.
Penyelenggaraan Muktamar ke-10 sebagaimana tercatat lengkap dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel Oelama ka-10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO), dihadiri 516 orang, dengan rincian: 140 ulama, 176 utusan bagian tanfidziyah, dan 200 tamu pengiring.
Beberapa ulama besar dan tokoh yang hadir antara lain, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Cirebon, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Ridlwan Semarang, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Solih Tayu, Kiai Manshur Batavia, Kiai Yasin Menes, Kiai Abdurrahman Menes, Kiai Abdurrahman Pasuruan, Kiai Munawir Pekalongan, Kiai Fakih, Kiai Husain Bandung, Kiai Hambali Kudus, Kiai Imam Yogya, dan Sayyid Muhammad Palembang.
Kemudian ulama dari Solo dan sekitarnya antara lain Kiai Raden Adnan Hoofd Penghulu Kasunanan Solo, Kanjeng Penghulu Kasunanan Solo, Katib Imam Solo, Hoofd Penghulu Mangkunegaran Solo, Kiai Mas Dimyathi Solo, Kiai Masyhud, Kiai Abu Amar, dan lain-lain.
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad