NU, Asas Tunggal Pancasila, dan Pandangan Syariat Islam (Bagian 1)
Rabu, 24 Juni 2020 | 10:15 WIB
Seruan dan ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila menjadi bahan diskusi di lingkungan Nahdlatul Ulama
Pemerintah pada 1983 melalui Tap MPR No. II MPR/1983 menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik/Golkar saat itu. Meski Tap MPR tentang Garis Besar Haluan Negara itu hanya menentukan asas tunggal untuk parpol/Golkar, pemerintah menyerukan dengan sangat agar ormas mencantumkan asas tunggal Pancasila dalam anggaran dasar mereka.
Seruan dan ajakan pemerintah ini tidak dapat ditafsirkan secara harfiah. Seruan dan ajakan ini harus dipahami sebagai ketentuan yang juga mengikat bagi ormas sebagaimana parpol/Golkar yang saat itu belum jadi partai tetapi memiliki fungsi seperti orpol.
Seruan dan ajakan ini yang kemudian memicu polemik di tengah umat Islam dan juga kalangan agama lain karena sebagian besar kalangan agama lain dan juga ormas Islam menghadap-hadapkan Pancasila dan agama. Seruan dan ajakan pemerintah ini yang membuat hubungan umat Islam dan pemerintah menjadi tegang.
Seruan dan ajakan pemerintah yang ketika itu tidak dapat dianggap sebagai imbauan enteng juga menarik diskusi di lingkungan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas Islam (dan juga terlibat politik melalui PPP karena belum memutuskan kembali ke Khittah NU 1926 pada Muktamar NU pada 1984).
Untuk menghindari kesalahpahaman, salah seorang sesepuh NU KH As’ad Syamsul Arifin dan seorang Mustasyar PBNU ketika itu KH Ahmad Siddiq menemui Presiden Soeharto untuk melakukan tabayun dengan pembicaraan secara intensif terkait desakan pemerintah soal asas tunggal Pancasila.
KH Ahmad Siddiq mengatakan bahwa seruan dan ajakan pemerintah ini patut dipertimbangkan dengan wajar, pikiran jernih, dan keseriusan berdasarkan kaidah agama Islam. Kiai Ahmad kemudian menyiapkan makalah yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo.
Makalah ini didiskusikan oleh para kiai di lingkungan Syuriyah PBNU di kediaman KH Masykur di Jalan Imam Bonjol nomor 22, Jakarta, pada 9 Rabiul Awwal 1404 H/13 Desember 1983. KH Ahmad Siddiq yang kemudian diangkat sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU pada satu tahun kemudian, 1984 di Situbondo, mengatakan:
“Ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah itu patut dipahami secara wajar dan proporsional oleh semua pihak. Di samping itu, tidaklah berlebih-lebihan kalau diharapkan pengertian yang mendalam, bahwa agama bagi semua pemeluk agama adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pemerintah selalu menegaskan tidak akan meng-agama-kan Pancasila dan tidak mem-Pancasila-kan agama. Dengan perkataan lain, bahwa ber-Pancasila tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan agama dan sebaliknya, bahwa beragama tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan Pancasila.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 dalam Pemikiran KH Ahmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 75-76).
Menurut Kiai Ahmad Siddiq, Nahdlatul Ulama menanggapi ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dengan pertimbangan: (a) bahwa pemerintah–dengan ajakannya itu–tidak berarti mengajak Nahdlatul Ulama menerima asas tunggal Pancasila dengan sekaligus mengesampingkan Islam. (b) bahwa Nahdlatul Ulama menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah, bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. (c) bahwa Nahdlatul Ulama tetap berpegang sepenuhnya kepada ajaran aqidah dan syariah Islam. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 76).
Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi