Diorama suasana Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya, Jakarta. (Foto: Antara/Widodo S. Jusuf)
Nahdlatul Ulama dideklarasikan sebagai muara dari tiga gerakan aktivis pesantren, yaitu gerakan pencerahan (Tashwirul Afkar), gerakan nasionalisme (Nahdlatul Wathan) dan gerakan kemandirian ekonomi (Nahdlatut Tujjar). Lahirnya NU pada 16 Rajab 1344 bertepatan 31 Januari 1926 merupakan kristalisasi dari proses gerakan kebangsaan ketiga perkumpulan tersebut.
Pada saat momentum Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, NU memasuki umur tahun ketiga. NU belum populer sebagai organisasi berbasis massa apalagi hidup di era penjajah. Namun meski masih bayi, tokoh-tokoh NU era itu bukanlah orang asing di dunia pergerakan.
Pelaku sejarah, Ruslan Abdul Gani mencatat, NU tumbuh cepat dan nyaris merata. Deklarasi NU wujudnya adalah gerakan sistematis muslim desa yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional, termasuk menyiapkan cikal bakal gerakan para pemuda.
Setahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927, para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan menabuh genderang perang kebudayaan. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya Belanda yang tersimbolkan dalam ornamen mode pakaian.
Sejarawan Mesir, Ahmad Syalabi mencatat bahwa keputusan NU tahun 1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah.
Perang kebudayaan tersebut juga berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah. Keputusan NU tahun 1927 tentang perang kebudayaan secara langsung memang melahirkan hukum kewajiban muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.
Keputusan NU tahun 1927 untuk perang kebudayaan cepat tersosialisasi ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara meresponnya dengan patuh dan dipraktikkan. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat desa. Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensi turunannya.
Baca Juga
Mengembalikan Sumpah Pemuda di Zaman Now
Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik.
Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah. Sedangkan isu politik digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka menjelang Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah: pertama, menyisir dari kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan.
Satu bulan setelah Muktamar ke-3 NU, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan. Tema besar Sumpah Pemuda cepat direspons masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk Nahdlatul Ulama. Inilah yang dimaksud Ruslan Abdul Ghani bahwa NU adalah bagian dari gerakan sistematik kebangkitan nasional.
Nahdlatul Wathan, cikal bakal gerakan pemuda
KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah satu inisiator gerakan pemuda melalui Nahdlatul Wathan. Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun 1914 setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan seluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1883-1934 M).
Kiai Wahab Chasbullah merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri. Karena dalam pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan.
Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai pimpinan dewan guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, 2010: 29).
Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Kiai Wahab sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air).
Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar yang berdiri tahun 1919. Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela mazhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, yakni membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.
Sepuluh tahun sebelum dideklarasikan berdirinya NU, Nahdlatul Wathan (Pergerakan Cinta Tanah Air) resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) pada 1916 sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai Direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.
Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren.
Penguatan prinsip cinta tanah air yang digaungkan Kiai Wahab Chasbullah melalui Madrasah Nahdlatul Wathan yang berdiri di sejumlah daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah membangkitkan semangat persatuan para pemuda di daerah-daerah lain. Mereka menggelar Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.
Kongres Pemuda I atau Kerapatan Besar Pemuda dihadiri oleh perwakilan dari perhimpunan pemuda/pemudi termasuk Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan masih banyak lagi.
Namun, Kongres Pemuda I diakhiri tanpa hasil yang memuaskan bagi semua pihak lantaran masih adanya perbedaan pandangan. Setelah itu, digelar lagi beberapa pertemuan demi menemukan kesatuan pemikiran. Maka, disepakati bahwa Kongres Pemuda II akan segera dilaksanakan.
Pertemuan berlanjut dalam Kongres Pemuda II. Kongres Pemuda II dilangsungkan selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Hari pertama, kongres menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik, sedangkan kongres di hari kedua diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat).
Tujuan Kongres Pemuda II antara lain: (1) Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia, (2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta (3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia.
Kongres ini diikuti oleh lebih banyak peserta dari kongres pertama, termasuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan lainnya.
Dalam Kongres Pemuda II, hadir pula beberapa orang perwakilan dari pemuda peranakan kaum Tionghoa di Indonesia dalam Kongres Pemuda II ini, seperti Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie, namun asal organisasi/perhimpunan mereka belum diketahui.
Gedung yang menjadi tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan rumah pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa milik seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, ini kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan