Kesehatan

Fenomena 'Hustle Culture' Korbankan Kesehatan Mental Generasi Muda

Kamis, 28 Oktober 2021 | 08:30 WIB

Fenomena 'Hustle Culture' Korbankan Kesehatan Mental Generasi Muda

Hustle Culture adalah sebuah gaya hidup yang menekan seseorang harus selalu bekerja untuk bisa menjadi sukses

Jakarta, NU Online
Kesehatan mental milenial menjadi sorotan, terlebih ketika tren Hustle Culture menyebar cepat di kalangan milenial. Hustle Culture adalah sebuah gaya hidup yang menekan seseorang harus selalu bekerja untuk bisa menjadi sukses dan ini telah mengorbankan kesehatan mental generasi muda penerus bangsa. Fenomena Hustle Culture ini dapat berdampak pada gangguan tidur, gangguan kecemasan, sampai stres.

 

Merespon dampak yang ditimbulkan dari fenomena tersebut, Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Elmy Bonafita Zahro mengamini jika dampak stres yang tersulut dari kelehahan psikis dapat memunculkan gejala fisik kasatmata.


“Stres itu sendiri sebenarnya gejalanya dirasakan oleh fisik. Kalau parah, bisa termanifestasi dalam penyakit fisik, misalnya pusing atau bahkan vertigo, badan pegal-pegal, tidur tidak berkualitas bisa insomia atau hypersomnia, makan berlebihan atau tidak nafsu makan bisa sampai eating disorder (pola makan tak teratur),” papar Elmy kepada NU Online, Kamis (28/10/2021).


“Selain itu, gejala psikosomatis lain yang kadang bisa berbeda-beda setiap orang. Tapi penyebabnya psikologis seperti masalah dengan teman, keluarga, atau bahkan diri sendiri seperti kecewa dengan diri sendiri, dan lain-lain,” imbuhnya.


Secara umum, lanjut Elmy, tidak ada yang salah dengan ketidakstabilan emosi milenial. Hal tersebut ditinjau melalui proses kognitif, terkhusus di bagian prefontal korteks yang menjalani fungsi eksekutif seperti kemampuan analisis masalah dan pengambilan keputusan tersebut sedang dalam proses pematangan.


“Stres wajar dialami dalam kondisi sehari-hari. Karena secara umum ada stres yang baik yakni eustress yang sifatnya memotivasi kita untuk menjadi lebih baik,” kata Elmy.


Kendati demikian, katanya, apabila sudah mengarah pada distres psikologi yang sifatnya menghambat aktivitas sehari-hari maka perlu diwaspadai. Jika stres yang diderita berlangsung selama enam bulan, Elmy menyarankan untuk berkonsultasi kepada para ahli.


“Apabila kondisi stres berkelanjutan selama enam bulan dan mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari, maka bisa dikonsultasikan ke profesional. Bisa ke psikolog atau psikiater,” terangnya.


Mengenali sumber stres
Potensi stresor atau sumber stres, ujar Elmy, berasal dari dalam (dapat dikontrol) dan luar (tidak dapat dikontrol) diri seseorang. Sumber stres yang dapat dikenali bisa membantu seseorang untuk mengontrol serta mengantisipasi agar tidak terjun bebas pada stres yang tidak sehat.


Sementara itu, apabila jenis sumbernya berasal dari sesuatu di luar dirinya yang tidak dapat terkontrol. Maka, tutur Elmy,  akan lebih baik jika seseorang melakukan penerimaan terhadap situasi tersebut.


“Apabila stresor adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol, misalnya berasal dari orang lain, atau seperti pandemi saat ini, maka belajar memahami dan menerima terhadap situasi dan kondisi yang ada adalah solusi terbaik,” jelasnya.


Dalam Islam proses penerimaan diri, lanjut Elmy, merujuk pada konsep ikhlas. Proses tersebut membuat seseorang berdamai dengan diri sendiri sekaligus kondisi sosial di sekitar.


“Dengan demikian, semakin kita kenal dengan diri sendiri harapannya para pemuda-pemudi ini makin sehat mental dan dapat berkontribusi dalam pembangunan nasional dengan cara mereka masing-masing,” katanya.


Hindari stres dengan produktivitas sehat
Elmy membeberkan kiat untuk menjadi pemuda yang kuat mental. Ia menyebutkan, pemuda harus berfokus pada potensi diri. Ali-alih terdistraksi dengan hal di luar fokusnya, pemuda jauh lebih bermanfaat apabila mengembangkan keterampilan dan bakatnya yang kelak akan menyokong Indonesia dengan sumber daya yang cakap dan produktif.


“Untuk menjadi manusia yang sehat mental, pemuda-pemudi perlu mengali dan menyadari sedini mungkin potensi diri, seperti minat dan bakat apa yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka dapat mengoptimalkan diri dengan menyusun rencana masa depan,” pungkasnya.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Muhammad Faizin