KH Hasyim Asy’ari misalnya. Kala itu bangsa Indonesia mendapat janji kemerdekaan yang dipidatokan oleh Perdana Menteri Jepang Kunaiki Koiso pada 7 September 1944. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)
Janji kekaisaran Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini. Sampai pada 3 Oktober 1944, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang juga ketika itu menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.
Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya bergama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekan Jepang untuk segera mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ia selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran tersebut.
Menyikapi kawat teguran tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944. Selanjutnya, KH Hasyim Asy’ari segera membalas kawat tindasan Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang telah membantu bangsa Indonesia dengan menegur Perdana Menteri Jepang Kuniki Koiso.
Perjuangan melalui surat juga dilakukan oleh sang putra, KH Wahid Hasyim. Hal ini diriwayatkan sendiri oleh KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) yang kerap menerima kawat dari Kiai Wahid.
Pada tahun 1944, Kiai Wahid Hasyim berkirim kawat supaya Kiai Saifuddin Zuhri segera berangkat ke Jakarta. Kedua tokoh ini memang senantiasa beriringan. Namun, walau seringkali bersama-sama dalam perjalanan menapakai perjuangan melawan kolonial, tetapi surat-menyurat tidak pernah putus. Diakui Kiai Saifuddin Zuhri, Kiai Wahid memang gemar menulis surat untuk sahabat-sahabatnya.
Surat-surat yang ditulis oleh KH Wahid Hasyim berisi pandangan politik, arah perjuangannya, dan cita-citanya. Segalanya ditulis dengan bahasa menarik, lancar, dan dibumbui humor, menurut pengakuan KH Saifuddin Zuhri (2013: 285).
Saking seringanya menulis surat kepada Kiai Saifuddin Zuhri, surat-surat Kiai Wahid Hasyim hendak diterbitkannya menjadi sebuah buku. Rupanya Kiai Saifuddin Zuhri terpengaruh sebuah buku karya A. Hasan Bandung yang menerbitkan surat-surat Bung Karno menjadi sebuah buku berjudul: Surat-surat dari Ende. Ketika itu, Bung Karno masih diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim juga kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.
Suatu hari, seorang Pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa seorang petani bernama Husin minta berjumpa dengan KH Wahid Hasyim. Akhirnya kedua orang ini bertemu dan cukup lama mengadakan pembicaraan. Setelah petani itu pergi, Kiai Wahid memberitahukan kepada Kiai Saifuddin Zuhri bahwa petani tersebut tak lain adalah Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik dan Chaerul Saleh. (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001: 274)
“Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad SAW pernah mengatakan, Al-Harbu Khid’ah, bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat”. Pernyataan tersebut dikatakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) ketika membincang strategi perjuangan menghadapi penjajah Nippon atau Jepang dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah Kedu, KH Saifuddin Zuhri pada tahun 1943.
Al-Harbu Khid’ah diungkapkan oleh Kiai Wahid karena bangsa Indonesia saat itu dalam kondisi peperangan melawan penjajah. Kondisi ini diperhatikan betul oleh para kiai pesantren untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan kolonialisme, bukan tipu muslihat dalam artian negatif.
Dalam obrolan ringan ditemani seduhan teh hangat di tengah panasnya peperangan, Kiai Wahid Hasyim mengeluarkan sebuah tas dan memberikan isinya kepada Kiai Zuhri. Awalnya Kiai Saifuddin Zuhri terheran dengan sesuatu yang dibungkus oleh plastik tersebut dan diberikan kepadanya.
Setiap kali dipanggil Kiai Wahid di kediamannya, Kiai Zuhri memang dipersiapkan menerima komando. Tidak jarang Kiai Zuhri harus berkeliling mengunjungi tokoh-tokoh kiai dan pemuda di Karesidenan Kedu (Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, Kabupaten dan Kota Magelang) untuk menyampaikan pesan perjuangan Kiai Wahid Hasyim.
Penulis: Fathoni Ahmad