Hal itu diungkapkan oleh Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim. “Ingat, Gus Dur itu hafal kitab Al-Hikam di luar kepala. Bukan hafal saja tetapi mewujudkan Al-Hikam dalam Adab dengan Allah dan Akhlak kemanusiaan. Semakin beradab dengan Allah semakin menghargai kemanusiaan,” ungkap Kiai Luqman Selasa lalu saat hendak mengisi pengajian kitab Al-Hikam di Masjid Al-Munawwaroh Ciganjur, Jakarta Selatan atau yang kerap disebut Masjid Gus Dur.
Dalam beberapa goresan pemikirannya, Gus Dur kerap mengutip salah satu bait penuh hikmah dari kitab Al-Hikam, berbunyi: “Lâ tashhab man lâ yunhidhuka hâluhu walâ yadulluka `alallah maqaluhu/ (Janganlah berkawan dengan orang yang tidak membangkitkan semangatmu untuk taat kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkanmu ke jalan Allah). (Al-Hikam, No. 53).
Tentang nama “Nahdlatul Ulama”, selain merujuk pada riwayat tentang usulan nama oleh Kiai Mas Alwi Abdul Aziz, Gus Dur juga mempunyai perspektif lain kenapa para ulama pesantren mengambil terminologi ‘nahdlah’. Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur mengatakan, nama ini diilhami oleh kalimat Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam.
Akar kata “Nahdlatul Ulama” termuat dalam salah satu aforismenya yang berbunyi: “Lâ tashhab man lâ yunhidluka hâluhu wa lâ yadulluka ‘alallâhi maqâluhu (Janganlah engkau jadikan sahabat dari orang yang perilakunya tak membangkitkan dan menunjukkanmu kepada Allah)”. Menurut Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari sering mengutip ungkapan itu. Kata 'yunhidlu', artinya membangkitkan, dan ulama termasuk orang yang bisa membangkitkan ke arah jalan Allah.
Dalam buku yang dianggit YB Mangunwiyaja berjudul Menumbuhkan Sikap Religiositas Anak-anak (1986), Gus Dur yang menulis kata pengantar untuk buku tersebut juga menukil kalam hikmah Ibnu Athaillah di atas.
Menurut Nur Khalik Ridwan (2018), Gus Dur mengutip kata-kata di atas dalam dua konteks: perlu ditinjau kembali aspek menanamkan religiositas anak manusia, yang selama ini bertumpu pada keimanan dengan “penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan.”
Pada 2004 silam, Gus Dur membuka pengajian kitab Al-Hikam untuk umum di Pesantren Ciganjur. Kegiatan tersebut berlangsung selama bulan Ramadhan. Pengajian ini diselenggarakan dengan cara pesantren salaf, di mana para santri Ciganjur membaca kitab yang masih gundul tersebut dan sekalian memaknainya dengan bahasa Jawa halus.
Menurut riwayat yang dijelaskan oleh santri-santrinya, sebagian demi sebagian kemudian Gus Dur menjelaskan secara kontekstual arti teks dalam Al-Hikam. Kemudian santri lain membaca terusannya kemudian Gus Dur kembali menerangkan, hingga semua santri senior mendapatkan giliran membaca.
Rupanya Gus Dur menguasai betul kitab tersebut, terbukti setiap kekeliruan pembacaan yang dilakukan para santrinya, Gus Dur langsung mengoreksi. Demikian juga dalam memberikan keterangan dengan mudah mengulang teks-teks panjang yang telah dibacakan para santri, yang umumnya juga sudah sangat menguasai kitab tersebut. Sehingga hadirin mengenal isi kitab dari para santri dan memahami isinya melalui penjelasan Gus Dur.
Dalam kesempatan itu, Gus Dur tidak memberikan penjelasan secara intertekstual sebagaimana biasanya, tetapi dijelaskan secara kontekstual. Maka yang sebenarnya terjadi adalah pengembangan sikap budaya santri dan secara lebih luas sebenarnya Gus Dur sedang mengajarkan prinsip ke-NU-an pada santri. Tidak hanya dalam bermasyarakat, tetapi juga dalam berpolitik dan berkebudayaan secara umum, persis seperti yang dilakukan ulama terdahulu terhadap santrinya.
Penjiwaan Gus Dur terhadap bait-bait hikmah kitab Al-Hikam juga diungkap KH Husein Muhammad dalam Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015). Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memberikan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.
Cara hidup demikian diungkapkan dalam sebuah puisi indah gubahan sufi besar dari Mesir, pengarang Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah As-Sakandari yang sering dikutip Gus Dur dalam banyak kesempatan: Idfin wujudaka fil ardhil khumuli, fama nabata mimmaa lam yudfan laa yutimmu nitaa juhu (Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, hasilnya tidaklah sempurna).
Saking akrabnya dengan kitab Al-Hikam, Gus Dur punya kisah anekdot tersendiri. Kala itu, Gus Dur mengajak Muhammad AS Hikam ke Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, tempatnya Gus Mutawakkil ‘Alallah.
AS Hikam dalam buku Gus Durku Gus Dur Anda Gus Dur Kita (2013) menceritakan, itu berlangsung sekitar tahun 90-an. Karena Gus Dur harus jalan ke beberapa pesantren jadi AS Hikam diminta tinggal di Genggong, karena besoknya ikut acara di sana.
Sebelum pergi Gus Dur bilang pada Gus Mutawakkil, “Gus saya titip Hikam ya."
Gus Mutawakil jawab cepat-cepat, “Inggih, Gus.”
Akhirnya ada Gus Nukman yang bertanya, “Apa sih Gus yang sampean cari, kok repot banget?”
“Wah, saya ini ketiwasan (kelupaan). Dititipi Gus Dur kitab Hikam kok saya kemarin nggak tanya dulu diletakkan dimana sama Gus Dur. Wah nanti saya bisa didukani (dimarahi) sama beliau,” kata Gus Mutawakkil.
“Loh njenengan ini gimana? Maksudnya Gus Dur titip Hikam kemarin itu ya Gus Hikam ini…(sambil menunjuk Muhammad AS Hikam yang lagi tiduran di karpet).”
Gus Mutawakkil, “Owalah… Masya Allah…. Kukira titip kitab Hikam karangan Ibnu Atha’illah as Sakandari.”
Penulis: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua