Meski demikian di dalam penelitian Dinno Munfaizin Imamah dalam buku Siasat Politik Nahdlatul Ulama Era Penjajahan Jepang, pihak jepang tidak melakukan hal yang sama terhadap dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyyah. Jepang tidak membubarkannya, setelah keluarnya dekrit dariPanglima Tentara ke-16 itu baik NU dan Muhammadiyyah tidak melakukan aktivitasnya.
Saat itu, KH Saifuddin Zuhri telah diangkat menjadi Ketua Bagian Dakwah PBNU, dan menjabat sebagai Kepala Kantor Agama Provinsi Jawa Tengah, Wakil Ketua Masyumi Jawa Tengah, dan sekaligus anggota DPRD Jawa Tengah.
Salah satu peristiwa penting yang ia abadikan dalam majalah Berita NU no. 8 Tahun 1953 adalah berdirinya Badan Federasi Umat Islam bernama Liga Muslimin Indonesia. Semua peristiwa tersebut selalu ia ikuti perkembangannya serhubungan dengan tugasnya sebagai ketua PBNU bagian dakwah dan pimpinan bulanan Berita NU.
KH A. Wahid Hasyim yang wafat tahun 19553, meninggalkan sebuah percetakan beserta gedungnya di Senayan, percetakan tua milik PBNU yang sebelumnya beroperasi di Sasak Surabaya.
Menurut Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, percetakan di Senayan ini berada di bawah Yayasan Mu’awanah, nama yang digunakan Wahid Hasyim untuk mengenang jasa-jasa KH Mahfudz Siddiq, ketua PBNU yang pada akhir hidupnya dikenal sebagai perintis gerakan Mu’awanah (tolong menolong). Dengan modal Yayasan Mu’awanah, A.A. Achsien, Zainul Arifin, dan Jamaluddin Malik mendirikan PT Timbul yang menerbitkan harian Duta Masyarakat bekerja sama dengan N.V. Pertjetakan.
Harian Duta Masyarakat ditempatkan di bekas kantor PBNU di Menteng Raya no. 24, yang juga sebagai kantor PP Muslimat NU.
Harian yang bersemboyan Menggalang Kerja Sama Islam-Nasional itu merupakan terompet NU untuk mencitrakan iklim sejuk bagi pelaksanaan Pancasila secara jujur dan bersih. Langkah ini dilakukan karena timbulnya intrik-intrik politik yang berhaluan ekstrem, baik kiri maupun kanan, sipil maupun militer, harus dicegah.
“...sebagai terompet dan alat penghubung diantara kita sehingga kita dapat gambaran yang terang terhadap berbagai persoalan yang timbul dalam berbagai lapangan dan dapat dipegang pula sebagai bahan pertimbangan dalam menghadapi persoalan seperti saat ini...” kutip Ensiklopidia NU.
Duta Masyarakat, terbit kali pertama pada 2 Januari 1954. Slogan koran ini “Untuk Kerjasana Islam-Nasional”. Namun kemudian slogan koran berubah menjadi “Pembawa Amanat Penderitaan Ummat”.
Duta Masyarakat pernah menjadi salah satu media cetak yang diperhitungkan di tanah air pada masanya. Tak heran jika kemudian lahir banyak jurnalis andal seperti H Mahbub Djunaidi, Said Budairy, Asa Bafaqih, Chalid Mawardi, Darto Wahab, dan lain-lain. Namun, seiring pergantian rezim, Duta Masyarakat harus tutup.
Pada masa awal Orde Baru, koran Duta Masyarakat berakhir setelah memberitakan hasil pemungutan suara pada Pemilu 1971 dari hasil investigasi di TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara). Pasalnya, angka yang diperoleh di TPS dan sumber resmi yang dikeluarkan pemerintah dimuat dalam koran itu. Tentu saja ini menimbulkan situasi yang kontroversial, karena angka hasil investigasi dan sumber resmi pemerintah tidak sama.
Menurut Anshari Sjams, sebagaimana ditulis Ensiklopedia NU, pangkal persoalan inilah yang akhirnya membuat Duta Masyarakat dibredel. Edisi terakhir Duta Masyarakat yang berhasil ditemukan di perpustakaan Nasional bertanggal 30 Oktober 1971.
Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad