Sebagai organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama tentu memiliki sebuah forum di mana pengurus dan warganya berkumpul bersama-sama untuk membahas hal-hal terkait organisasinya.
Untuk skala besar, Muktamar menjadi forum permusyawaratan tertinggi NU yang dihadiri oleh banyak massa mulai dari pengurus dari segala penjuru Indonesia dan juga dunia sebagai muktamirin (peserta muktamar) dan juga warga NU sebagai muhibbin (para pecinta NU).
Selain Muktamar NU yang dilaksanakan untuk membahas berbagai agenda organisasi dan juga memilih kepengurusan baru, ada beberapa pertemuan besar lain yang digelar oleh Nahdlatul Ulama.
Di antaranya adalah Rapat Akbar, Munas Alim Ulama, dan Konferensi Besar. Berikut catatan sejarah pertemuan-pertemuan besar di NU yang tertulis dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren.
Rapat Akbar
Pertemuan besar besar ini digelar untuk membicarakan berbagai kegelisahan sosial yang dianggap perlu dengan memohon pertolongan Allah. Kata rapat sendiri bermakna pertemuan atau perkumpulan untuk membicarakan sesuatu.
Kata akbar bermakna lebih besar atau terbesar. Sebagai khazanah, rapat akbar telah menjadi kegiatan kultural masyarakat NU, sehingga biasa dan sering dilakukan baik oleh jam’iyah NU atau oleh masyarakat NU yang lain.
Memang rapat besar seperti ini ada di dalam masyarakat secara umum, misalnya dalam sejarah pernah ada rapat raksasa di Lapangan lkada, dan ada pertemuan-pertemuan besar yang dilakukan berbagai golongan masyarakat dengan berbagai nama.
Akan tetapi, yang menjadi khas khazanah masyarakat NU adalah penyebutan istilah rapat akbar. Keistimewaan lain dari rapat akbar adalah pembacaan serangkaian doa yang dimulai dengan pergelaran aneka kesenian khas pesantren, seperti terbangan, pembacaan shalawat Badar, dan lain-lain.
Doa-doa yang dibaca biasanya adalah wirid-wirid istighotsah, pembacaan tahlil, dan wirid-wirid tertentu. Doa dan wirid-wirid istighotsah ini telah dicetak dalam buku kecil dan beredar luas di masyarakat NU, dan dijual di toko-toko buku.
Setelah wirid-wirid dibaca, biasanya ada tausiyah-tausiyah dari kiai-kiai NU untuk merespons masalah-masalah sosial masyarakat dan membicarakan masalah jam'iyah. Dari sisi namanya saja bernama rapat akbar, maka pertemuan seperti ini tentunya untuk menanggapi soal-soal penting, dan karenanya masalah-masalah yang dibicarakan juga persoalan yang membutuhkan jawaban, tanggapan, dan sikap NU.
Rapat akbar ini pernah terkenal pada masa Orde Baru, meskipun rapat akbar sering dilakukan masyarakat NU sejak dulu hingga saat ini. Rapat yang terkenal itu diselenggarakan pada tanggal 1 Maret 1992 M. yang bertempat di Stadion Senayan Jakarta.
Saat itu, Ketua Umum PBNU adalah KH Abdurrahman Wahid, dan rapat akbar ini bagian dari langkah kepemimpinan Gus Dur. Peserta rapat akbar saat itu setengah juta orang, dari target satu juta umat Nahdliyin. Kedatangan mereka banyak digembosi oleh penguasa kala itu.
Dalam rapat akbar itu, di antaranya dibacakan sembilan ikrar kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 45. Rapat Akbar ini dilaksanakan di tengah situasi politik ketika Presiden Soeharto sedang menggalang dukungan kepada semua kelompok untuk mencalonkan diri dalam jabatan presiden yang kelima.
Gus Dur melihat perkembangan itu menjadi tidak sehat bagi kehidupan masyarakat dan bernegara, dan bertentangan dengan kompetisi sehat yang bebas dan jujur. Pada saat yang sama Soeharto telah berhasil merangkul ICMI (lkatan Cendekiawan Muslim Indonesia) untuk berada di belakangnya, dengan memanfaatkan simbol agama untuk dukungan kekuasaan politik.
Dalam konteks itu, rapat akbar yang diselenggarakan NU, di antaranya bertujuan: melakukan kritik secara kualitatif dan mengena, menghindari dukungan atas Soeharto untuk menduduki jabatan kepresidenan yang ke-5, dengan mengganti dukungan NU terhadap Pancasila dan UUD 45.
Pada saat itu, mereka yang tidak mendukung Soeharto dan melakukan kritik, dapat dibaca sebagai pembangkang, dan adanya rapat akbar saat itu, NU telah terhindar dari sebutan pembangkangan karena menunjukkan loyalitas kepada Pancasila dan UUD 45.
Pada saat yang sama, NU menjaga independensi untuk tidak melakukan dukungan kepada Soeharto bagi jabatan presiden yang ke-5 di tengah banyak kelompok melakukan kebulatan tekad mendukungnya.
Sejarah ini menggambarkan penggunaan maksud dan tujuan rapat akbar di kalangan NU yang dilakukan jam'iyah NU. Dalam hal-hal lain, rapat akbar juga digunakan untuk merespons masalah-masalah sosial kemasyarakatan, sesuai dengan kebutuhan, tempat diadakannya, dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya (termasuk warga NU).
Karena itu, rapat akbar ini bisa diselenggarakan di mana pun dan oleh siapa pun warga NU yang memiliki keprihatinan sosial yang dianggap penting, karena sebagai khazanah ia menjadi bagian dari kegiatan kultural masyarakat NU.
Sebagai khazanah masyarakat NU yang bisa diadakan oleh pesantren, warga NU, dan jam'iyah NU sendiri, sangat berbeda dengan forum-forum resmi yang diadakan jam'iyah NU, seperti Muktamar (dulu namanya Kongres), Munas Alim Ulama, dan Konbes. Forum-forum resmi ini harus dan hanya dilakukan oleh jam'iyah NU.
Musyawarah Nasional Alim Ulama
Musyawarah Nasional Alim Ulama atau Munas Alim Ulama adalah forum pertemuan yang diselenggarakan pengurus besar syuriyah sekurang-kurangnya sekali dalam satu periode kepengurusan untuk membahas masalah keagamaan.
Munas dapat mengundang tokoh-tokoh alim ulama Ahlussunnah wal Jama'ah dari dalam maupun dari luar pengurus NU, terutama tokoh pengasuh pesantren, dan dapat pula mengundang tenaga ahli yang diperlukan.
Munas Alim Ulama membicarakan masalah-masalah keagamaan menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Sebagai forum bahtsul masail akbar, Munas Alim Ulama membagi pembahasan masalah-masalah keagamaan ke dalam tiga kategori: (1) Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan aktual), (2) Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Maudlu’iyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan tematik), dan (3) Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Qonuniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan berkaitan dengan perundang-undangan).
Keputusan Munas tidak dapat mengubah AD/ART, keputusan muktamar, dan tidak mengadakan pemilihan pengurus. Untuk efekfivitas penyelenggaraan, Munas biasanya diselenggarakan bersamaan dengan Konferensi Besar (Konbes). Dalam sejarah jam‘iyah NU, Munas diadakan pertama kali di Kaliurang tahun 1981. Masalah-masalah yang dibicarakan, selain mengukuhkan KH Ali Maksum sebagai Rais ‘Am, juga memutuskan persoalan-persoalan yang dijawab peserta Munas, di antaranya: bayi tabung, cangkok mata, bank mata, cangkok ginjal dan jantung, dan lain-Iain.
Munas berikutnya diadakan di Situbondo pada 1983. Dalam munas bersejarah ini diputuskan Deklarasi Situbondo, yang merespons tentang Pancasila. Setelah itu, Munas diadakan di Cilacap tahun 1987; di Bandar Lampung tahun 1992 yang memutuskan sistem pengambilan hukum di Iingkungan NU boleh menggunakan pola manhaji dengan syarat-syarat tertentu; di Bagu, Lombok Tengah, NTB tahun 1997; dan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta tahun 2002; serta Munas 2012 di Kempek, Cirebon.
Konferensi Besar NU
Konbes NU atau Konferensi besar NU adalah forum permusyawarata NU yang digunakan untuk membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar, mengaji perkembangan program, memutuskan Peraturan Organisasi (PO), serta menerbitkan rekomendasi. Oleh karena itu, dalam Konbes NU ini forum permusyawaratan dikerucutkan ke dalam tiga komisi pembahasan, yaitu Komisi Program, Komisi Organisasi, dan Komisi Rekomendasi.
Berbeda dengan Munas Alim Ulama yang kepesertaannya lebih terbuka dengan mengundang dan melibatkan para alim ulama, pengasuh pondok pesantren, dan para pakar, kepesertaan dalam forum Konbes NU sifatnya lebih tertutup. Peserta Konbes NU yang pelaksanaannya dibarengkan dengan MUnas, terdiri hanya anggota pleno Pengurus Besar dan Pengurus Wilayah saja.
Dalam buku kumpulan putusan muktamar, munas dan konbes yang diterbitkan oleh LTN PBNU pada 2011 yang berjudul Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010M) disebutkan bahwa istilah konferensi besar telah digunakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1957. Tepatnya pada Konferensi Besar Syuriyah NU di Surabaya yang dihelat pada 19 Maret.
Pengertian konferensi besar dalam konteks ini, berbeda dengan konsep konbes dewasa ini. Konbes syuriyah kala itu secara konseptual mirip dengan munas alim ulama dewasa ini, yakni membahas masalah-masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari hasil Konbes Syuriyah NU tahun 1957 yang membahas tentang wanita menjadi anggota DPR dan meninjau ulang hukum borg dan gadai.
Konbes Syuriyah NU kembali dilaksanakan pada 18-22 April 1960 dan 11-13 Oktober 1961 yang sama-sama digelar di Jakarta. Ini menunjukkan Konbes Syuriyah NU ini, bersifat insidental. Hal ini setidaknya dilihat dari tidak tercantumnya agenda tersebut dalam tata aturan permusyawaratan yang ada di ART NU. Setidaknya, ART NU yang dikeluarkan oleh PBNU pada 1968.
Penulis: Muhammad Faizin
Editor: Fathoni Ahmad