Pidato Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Sebelum Resolusi Jihad
Jumat, 25 Oktober 2019 | 08:30 WIB
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (waktu itu itu disebut HBNO) yang berkedudukan di Surabaya pun mendengar kabar itu. PBNU kemudian menanggapi situasi itu dengan mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya.
Malam hari tanggal 21 Oktober 1945, Rais Akbar PBNU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Hadhratussyekh berpidato dalam bahasa Arab yang isi terjemahannya sebagai berikut:
"Apakah ada di antara kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah.
Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah Ieher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu."
Menurut Sejarawan Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945 menjelaskan, pidato singkat Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari tentang kewajiban umat lslam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya fitu mencakup tiga hal.
Pertama, hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir:
Kedua, hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid.
Ketiga, hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh. Kemudian pada keesokan harinya, tanggal 22 Oktober 1945 PBNU mengadakan rapat pleno yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah.
Rapat pleno itu mengambil keputusan tentang Jihad Fii Sabilillah dalam membela tanah air dan bangsa yang diserukan kepada umat Islam dan menerukan Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Penulis: Abdullah Alawi