Dalam bahasa Indonesia, bunyi "hu" tidak dikenal. Kecuali didahului dengan "ta", jadi "tahu" yang berarti mengerti atau makanan yang sering kita santap, atau "hu" yang yang ditambahi "s", jadi "hus", biasa dipakai untuk mengusir ayam atau untuk kasih peringatan pada bocah yang bandel.
<>
Tapi, setelah orang Indonesia belajar Ilmu Nahwu, kita mengerti bahwa orang Arab punya khazanah tentang "hu" yang berati "nya/dia", benda atau orang ketiga tunggal, untuk jenis laki-laki (mudzakkar). Istilahnya dlomir muttashil, kata ganti yang ditulis bersambung dengan kata sebelumnya.
Ketika Jepang datang menjajah tanahair, penduduk dipaksa mengenal "hu". Orang Jepang meneriakkan “hu”, sebagai ungkapan hormat, mungkin juga siap. Bagi anak-anak muda yang darah perjuangannya berapi-api, teriakan “hu” membuatnya beban, dan tentu saja ngresula. Tapi tidak bagi Kiai Wahab Hasbullah. ia meminta para pejuang sabar dengan para petinggi Jepang yang selalu minta “di-hu-i”.
Nasihat bersabar oleh Kiai Wahab diutarakan kepada santri terbaiknya, Kiai Saifuddin Zuhri. Saat itu, sekitar tahun 1943, Saifuddin bolos sebentar dari “Latihan Ulama” yang diadakan Jepang. Ia datang ke kandong MIAI, Jalan Kramat Raya, Jakarta. Di kantor itu, Saifuddin menemui Kiai Wahab, dan mengeluh atas doktri “Bushido” (kepribadian kesatria Nippon) yang dijejalkan oleh tentara. Kiai Wahab bilang dengan enteng:
“Saudara mesti tetap berjiwa, tetap memiliki nyawa, roh Islam, agar tak mudah dinipponkan. Di zaman ini kita harus pandai bediplomasi dalam menghadapi Nippon. Sama-sama bersuara Hu tapi artinya bisa berbeda. Ada yang artinya Huntalen (telanlah) dan ada Huculono (lepaskan),” ujar Kiai Wahab, sebagaimana dicatat dalam buku Berangkat dari Pesantren karya Kiai Saifuddin sendiri.
Mendengarkan nasihat Kiai Wahab, aktivis Muslim para penggerak Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang pada waktu tiu ada tertawa terbahak-bahak. Di antara mereka ada Kiai Abdul Wahid dari NU, Ki Bagus Kusumo dan Kiai Farid Ma’ruf dari Muhammadiyah, Haji Agus Salim, Mister Mohamad Roem, Kiai Abdul Kahar Muzakkar, Prawoto Mangkusumo, dan lain-lain.
Jepang, seperti juga Belanda, menggunakan segala cara untuk menundukkan pejuang kemerdekaan. Para ulama dari berbagai kelompok Islam bukan saja diminta masuk mengurus organisasi yang dibentuk Jepang, seperti Masyumi atau Shumubu (kantor urusan agama), tapi para ulama juga difasilitasi dengan gaji, termasuk fasiitas kereta kelas satu. Fasilitas ini melebihi yang diberikan pada para pangreh praja.
Namun, para ulama tidak begitu serta merta tunduk. Mereka tidak silau dengan segenap bujuk rayu Jepang berupa harta dan jabatan. Sebaliknya mereka melawan Jepang dengan segala bentuk diplomasi yang efektif, satu di antaranya, “politik hu” ala kiai Wahab. (Hamzah Sahal)