Seperti yang dipaparkan pada tulisan-tulisan sebelumnya, bahwa perumusan NDP (Nilai Dasar Pergerakan) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan hal yang cukup mendesak untuk segera diimplementasikan, mengingat kenyataan bahwa: pertama, PMII telah menyatakan independensi dengan NU (sejak tahun 1973). Namun, di satu sisi PMII tentu tidak dapat meninggalkan nilai-nilai Islam Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) sebagai akidah warga pergerakan dan jiwa perjuangan organisasi.
Kedua, perumusan NDP PMII merupakan amanat sejarah, sebab sejak Kongres V di Ciloto, Bogor pada tahun 1973, telah diputuskan bahwa perumusan tersebut sangat urgen dan harus segera disusun. Namun, upaya perumusan ini tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Tercatat, hingga Kongres IX tahun 1988 di Surabaya, proses perumusan NDP ini baru membuahkan hasilnya.
Sebelum dibawa ke Kongres IX, beberapa cabang ditunjuk untuk melakukan proses perumusan di tingkat lokal. Salah satunya, yakni PMII Surakarta Jawa Tengah. Tim perumus dari PMII Surakarta atau juga dikenal dengan Solo, yang diketuai Nuhkbah El Mankhub (Ketua PC PMII Surakarta 1982-1983) ini kemudian mulai menyusun dan menguraikan kerangka NDP PMII, sesuai dengan yang dihasilkan dari Kongres PMII di Bandung tahun 1985.
Adapun kerangka NDP hasil Muskernas PMII di Bandung tersebut meliputi: Bab I Pendahuluan (berisi Kerangka Landasan NDP PMII), Bab II (menerangkan Universalitas Islam, Paham Aswaja, Pandangan Aswaja Tentang Masyarakat, Negara, dan Bernegara di Indonesia), dan Bab III Penutup.
Untuk menguraikan kerangka tersebut, tim PMII Solo menyelenggarakan beberapa kegiatan, di antaranya diskusi, konsultasi kepada sejumlah kiai, dan loka karya hasil perumusan NDP. Diskusi kader PMII Solo kala itu diwadahi dalam DSC (Dinamika Studi Club) yang berpusat di sekretariat PMII Solo, yang kala itu masih berada di Kantor PCNU Surakarta, yang beralamatkan Jl Honggowongso Panularan Serengan.
“Jadi, tim ini kolaborasi antara mahasiswa berbagai jurusan dari kampus UNS (Universitas Sebelas Maret) dengan UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) yang kuat di landasan keagamaan. Selama bertahun-tahun kita berdiskusi kemudian menghasilkan penyusunan NDP, panduan pelatihan instruktur dan kader, dan penulisan sejarah fragmen seperempat abad PMII. Ketika tiga rancangan tersebut, PB hanya menerima naskah penyusunan NDP yang ditindak lanjuti dengan pembuatan SK,” terang Nukhbah.
Untuk membedah tema Aswaja, selain berkonsultasi dengan para kiai dan tokoh NU di Solo seperti KH Abdurrochim, KH Yasin, KH Baidlowi Syamsuri, KH Lukman Suryani, KH Slamet Iskandar, KH Sholeh Mahfud, Nurtontowi, dan lain sebagainya, mereka juga mengutip berbagai kitab seperti Ihya’ Ulumiddin Imam Ghazali dan sejumlah buku yang ditulis oleh para kiai tersebut.
Buku yang menjadi rujukan antara lain Risalah Pengertian Ahlus-sunnah wal Jama’ah Beserta Amalan Ahlussunnah wal Jamaah yang ditulis oleh KH Moh. Yasin (Kauman Solo). Kiai Yasin yang dikenal sebagai salah satu kiai yang produktif menulis buku ini, merupakan menantu dari KH Manshur, Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Pengasuh Pesantren Popongan Klaten.
Rujukan lain dari tim perumus PMII Solo, yakni Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang memuat garis perjuangan dan jati diri NU. Penggunaan isi pidato KH Hasyim Asy’ari pada saat didirikannya NU tahun 1926 tersebut menjadi sebuah indikasi bagi PMII, kala itu, untuk kembali merapat kepada NU. Dan memang pada kenyataannya, meski PMII menyatakan independen dengan NU, namun tetap saja selepas dari PMII, mereka aktif di NU ataupun banomnya.
Jangan lupakan pula pada fakta sejarah, bahwa 5 orang dari 7 anggota tim perumus Khittah NU 1926 merupakan kader PMII. Mereka adalah M. Zamroni, M. Said Budairy, Mahbub Djunaidi, Fahmi Saifuddin, dan Ahmad Bagdja. Sedangkan 2 orang lainnya, yakni Gus Dur dan Danial Tandjung. Mereka inilah yang kemudian berhasil memformulasikan lebih konkrit gagasan pemulihan Khittah NU 1926, yang sebelumnya telah dirumuskan oleh para kiai dan tokoh NU yang tergabung dalam tim “Majelis 24”.
Tim perumus NDP PMII Solo juga mengambil nilai-nilai di dalam Mabadi Khaira Ummah, yaitu ash-shidqu (benar, tidak berdusta), al-wafa bil ‘ahd (menepati janji), dan at-ta’awun (tolong menolong). Ini dikenal dengan Mabadi Khaira Ummah ats-Tsalasah (Trisila Mabadi) yang digagas oleh ketua HBNU KH Machfud Shiddiq Muktamar NU tahun 1939 di Magelang.
Setelah proses perumusan NDP yang berjalan selama hampir dua bulan tersebut, terhitung sejak dikeluarkan SK PB PMII (April 1986) terkait pembentukan tim pembantu penyiap bahan NDP PMII dari tim PMII Solo tersebut, hingga diadakan Lokakarya Hasil Perumusan NDP di bulan Mei 1986, akhirnya konsep NDP PMII berhasil diselesaikan.
Konsep tersebut kemudian digodok kembali di tingkatan PB PMII, melalui tim yang telah dibentuk sesuai dengan SK PB PMII (September 1987) dengan susunan tim: M. Fajrul Falakh (Koordinator) Khalidy Ibhar, A. Hamid Halimy, Mahrus Roem, Otong Abdurrahman, Ubaidillah Abdillah, Abdul Mun’im DZ, Moh. Imam Aziz. Kemudian sebagai narasumber Drs A. Malik Madani dan Drs. M Masyhur Amin.
Hasil konsep NDP dari PC PMII Solo yang juga telah dibahas oleh tim yang dibentuk PB PMII ini, kemudian diajukan dan diputuskan di Kongres ke-IX PMII tanggal 14-19 Sepetember 1988 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Ya, memang sudah seharusnya di arena Kongres-lah, para kader PMII beradu ide dan gagasan dan bukan sekadar menjadi momen pergantian estafet jabatan.
“Komisi NDP saat itu (Kongres IX) dipandu KH Yusuf Muhammad (Cak Yus), alumni PMII Yogya asal Jember. Kata beliau dari sekian NDP yang paling agak sempurna dari Surakarta, sudah yang lain dibuang saja. Kemudian Cak Yus tanya, kamu bawa literaturnya tidak? Kalau literaturnya wahabi saya buang juga. Akhirnya setelah diteliti dan dibahas, NDP dari PMII Solo diterima,” ungkap Nukhbah.
Refleksi NDP
Sejak diputuskannya rumusan NDP PMII di tahun 1988, hingga sekarang menjelang Kongres PMII ke-XX, selalu ada penyempurnaan terkait NDP. Secara esensi NDP ini adalah sebuah sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Islam Aswaja. Yang menarik, pada masa perumusan NDP PMII (tahun 1980-an) tersebut juga bersamaan dengan menguatnya upaya untuk mengembalikan proses kaderisasi di kalangan pesantren dan NU di tengah hegemoni rezim orde baru.
Abdul Mun’im DZ dalam jurnal Tashwirul Afkar (2006: 22-24) mencatat di masa Orde Baru, gerakan kaderisasi di kalangan pesantren dan NU, sempat mengalami pergesaran nilai menjadi sekadar training atau pelatihan. Istilah kader, sebuah istilah yang dianggap ideologis dan dengan sendirinya politis dilenyapkan, diganti dengan istilah SDM, yang merupakan terminologi khas dalam sitem teknokrasi. Buku kaderisasi diganti dengan buku pengembangan SDM.
Gerakan kaderisasi berhenti, sementara gerakan pelatihan sangat gencar dilaksanakan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sebuah organisasi tanpa sistem kaderisasi, akibatnya sistem nilai, tradisi tidak bisa ditransmisikan dari generasi ke generasi. Di situlah titik pisah kalangan NU muda (termasuk PMII, pen) dengan tradisi di masa lalu, baik falsafah maupun manhajnya.
Perumusan NDP di tahun 1988, setidaknya menjawab atau paling tidak meminimalisir ketakutan akan lepasnya PMII terhadap nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Islam Aswaja. Tiga tahun setelah Kongres di Surabaya, dengan berpegangan kepada NDP, tentu ikut berpengaruh kepada hubungan PMII dan NU. Tepatnya pada saat dihelat Kongres X PMII di Pondok Gede Jakarta, 27 Oktober 1991, PMII menyatakan sikap interdependensi dengan NU.
Sebagai penutup dari beberapa tulisan terkait sejarah perumusan NDP PMII ini, tentu penulis berharap akan ada kader PMII yang melanjutkan dan mengembangkan tulisan ini, tentunya dalam konteks pemaknaan NDP PMII di masa kini. Sembari mengajukan sebuah pertanyaan: Masih adakah kader PMII yang mau membincang NDP?
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad