Ajie Najmuddin
Kontributor
Situasi ini tentu memiliki beberapa keuntungan bagi NU, di antaranya para pengurus NU kini dapat lebih fokus dalam membangun kembali jati diri sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan. Sebelum menyatakan khittah dan menjadi bagian dari PPP ini, NU menjadi kehilangan jati dirinya tersebut. Seperti yang dikutip Afif Amrullah (2015) dari M. Said Budairy (Sekum PMII 1960-1963):
“Sebagai organisasi politik sudah bukan, sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan, baru nerupa pernyataan. Perilaku masih tetap saja seperti masih sebagai partai politik. Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk Pemilu, Ormas ini tiba-tiba saja persis seperti Parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya, tidak sesuai dengan yang diinginkan.”
Situasi ini, barangkali yang ikut mendorong organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk menyatakan independen (melalui Deklarasi Murnajarti tahun 1972 dan ditegaskan pada Kongres PMII tahun 1973) dari urusan politik praktis, termasuk dengan NU yang kala itu masih menjadi partai politik.
NDP ini menjadi penting bagi PMII, terutama setelah menyatakan diri sebagai organisasi yang independen. Dalam buku Fragmen Seperempat Abad PMII yang ditulis Nukhbah El Mankhub dkk dari Dinamika Studi Club (DSC) PMII Surakarta pada tahun 1985. Dijelaskan bahwa meski telah menyatakan independen dari NU, namun PMII tetap teguh dalam asas Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dalam buku tersebut (hlm. 117) dijelaskan:
“Tetapi nilai-nilai Aswaja itu bagi warga pergerakan (sebutan untuk anggota PMII, pen) masih banyak berserakan dalam buku (kitab) kuning maupun tersimpan dalam benak ajaran ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal itu akan menyulitkan warga pergerakan yang masih banyak yang awam terhadap nilai-nilai Aswaja itu sendiri, di samping menyulitkan rujukan penyusunan langkah program kerjanya.”
Pasca-pernyataan Independensi ini, model perekrutan anggota PMII kala itu sempat hanya menggunakan pendekatan program, bukan lagi pendekatan ideologi maupun kultur-historis. Namun, hal ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi PMII, yang perlahan mulai kehilangan identitas sebagai organisasi berlandaskan Islam Aswaja.
Nilai-nilai Dasar Perjuangan
NDP ini kemudian menjadi salah satu pembahasan penting pada acara Musyawarah Nasional (Munas) ke-3 PMII pada tahun 1976. Dalam forum tersebut, antara lain diputuskan mengenai penyusunan Nilai-nilai Dasar Perjuangan PMII yang meliputi Urgensi NDP bagi PMII, Posisi NDP bagi PMII, Pengertian NDP PMII, dan Kerangka Permasalahan NDP PMII. Sayangnya, gagasan penyusunan NDP PMII ini tak kunjung terwujud dan berlalu hingga silih berganti kepengurusan baru.
Hingga pada Kongres ke-8 di Bandung tahun 1985, persoalan mengenai penyusunan NDP ini kembali dibahas secara serius. Bahkan dibuat sebuah keputusan: “Menugaskan pada PB PMII periode 1985-1988 untuk melengkapi dan menyusun secara utuh dan menyeluruh NDP PMII.” Keputusan ini kemudian ditindak lanjuti dengan membuat tim pembantu penyiap bahan NDP, pada tahun 1986. Tim perumus ini diisi para kader PMII Surakarta atau juga dikenal dengan Solo, yang diketuai Nuhkbah El Mankhub (Ketua PC PMII Surakarta 1982-1983).
Mulailah tim ini menyusun dan menguraikan kerangka NDP PMII, sesuai dengan yang dihasilkan dari komisi organisasi Kongres VIII PMII di Bandung. Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah yang dulu ikut menjadi wakil ketua tim perumus NDP di Solo, KH M. Dian Nafi’, menjelaskan proses penyusunan dilakukan dengan berbagai metode, yakni dari hasil diskusi tim dan konsultasi kepada para kiai.
“Tim Solo ini bekerja berkesinambungan. Paling tidak kita kumpul seminggu sekali pada akhir pecan. Kegiatan tim ada yang berupa konsultasi, dengan cara sowan kepada para kiai. Tim juga mendorong PC PMII untuk mengadakan seminar yang temanya kita tentukan sesuai dengan kebutuhan rumusan NDP. Begitu juga dengan diskusi. Sebisanya hasil konsultasi, seminar, dan diskusi itu dihimpun sedikit demi sedikit jadi rumusan,” ungkap Kiai Dian.
Selain itu, tim juga mengumpulkan dari pertanyaan-pertanyaan apabila dari para peserta Mapaba dan LKD (sekarang disebut PKD). Pertanyaan-pertanyaan dari peserta dan jawaban dari narasumber, yang sesuai dengan kisi-kisi NDP juga dipertimbangkan masuk ke dalam rumusan NDP itu.
“Yang saya pahami saat itu, jika ada masalah-masalah, maka kader PMII harus dapat menghadapinya secara teguh kepada karakternya. Kemudian kalimat yang sering saya dengar saat itu, kader-kader PMII tidak boleh terombang-ambing oleh pasang surut keadaan dan masalah-masalah yang ada. Kader-kader PMII harus memiliki mentalitas yang kokoh dan baik sebagai generasi Aswaja,” kenang Kiai Dian.
Hasil dari pengumpulan rumusan NDP tersebut kemudian dibahas secara terbuka dengan mengundang sejumlah cabang-cabang lainnya, dalam sebuah kegiatan bertajuk “Lokakarya Penyusunan NDP Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” yang diselenggarakan di Kantor PCNU Surakarta, pada bulan Mei 1986.
Penulis: Ajie Najmuddin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua