Ilustrasi bulan. Kalender hijriah mendasarkan diri pada rotasi bulan (komariah). (Foto: NU Online/Suwitno)
Suatu sore, di salah satu sudut Kota Madinah, para sahabat terlihat sedang memperhatikan Khalifah Umar bin Khattab yang tengah dirundung gelisah. Pasalnya, di hari sebelum ini, Amirul Mukminin baru saja menerima sebuah surat berisi dokumen pertanggungjawaban Abu Musa Al-Asy’ari yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Basrah.
Sejak dua setengah tahun melanjutkan kepemimpinan Abu Bakar, Umar menyadari bila surat-surat penting kekhalifahan baik berupa surat masuk maupun surat keluar mengandung kecacatan karena tidak pernah disertai dengan penanggalan yang jelas.
Muhyiddin khazin dalam Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik (2008) menerangkan, jika beberapa arsip bahkan luput dari catatan tahun pembuatannya. Sedangkan surat yang tanpa menyertakan titi mangsa akan menuai masalah dan menjadi persoalan serius bagi administrasi negara.
Baca Juga
Perbedaan Kalender Hijriah dan Masehi
Musyawarah sahabat
Michael H. Hart dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History (1978) menempatkan Umar menjadi satu-satunya pemimpin kaum muslimin setelah Nabi Muhammad saw yang mempunyai pengaruh luas. Selain karena prestasi penyebaran agama Islam yang sangat gemilang, pada masa 10 tahun periodenya, ia juga berhasil mengaplikasikan sebuah konsep negara berlandaskan pemerintahan modern, melanjutkan apa yang pernah dirintis Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar.
Dengan visi yang melampaui pikiran zamannya, Umar seketika menunjukkan sikap responsif saat menemui kejanggalan pada surat-surat tersebut. Ia langsung membentuk forum musyawarah berisi para sahabat terpilih guna menyelesaikan masalah krusial itu.
Pada poin pertama, mereka semua sepakat bahwa perlu adanya suatu sistem penanggalan resmi yang diperuntukkan buat kepentingan Islam. Wacana ini dianggap cukup mendesak sebab dalam beberapa hal, ajaran Islam yang meliputi ibadah dan non-ibadah punya hubungan erat dengan urusan waktu.
Perdebatan, sebagaimana digambarkan Dermawan Abdullah dalam Jam Hijriah (2011) justru mencuat ketika forum diarahkan ke pertanyaan: kira-kira momentum apa yang bakal dipakai untuk menandai dimulainya penanggalan Islam ini? Salah seorang peserta mengusulkan peristiwa kelahiran Nabi Muhammad yang mestinya jadi penanda.
Peserta lain berpendapat kalau lebih bagus pijakannya adalah ketika Rasul memperoleh wahyu pertama. Pihak selanjutnya tak mau kalah, ia menyarankan agar hari wafatnya Nabi Muhammad yang jadi patokan. Musyawarah pun sempat menuai kebuntuan. Hingga akhirnya para sahabat dibuat terpana oleh solusi cerdas dari seorang pemuda yang mengusulkan jika kronik hijrahnya Nabi dan umat Islam adalah jalan tengah atas perselisihan tersebut.
Usul ini ternyata diterima peserta musyawarah. Tak berlangsung lama, khalifah Umar lalu menetapkan penggunaan kalender resmi milik umat Islam pada 8 Rabi’ul Awal tahun 17 H. 17 tahun setelah hijrahnya Nabi. Jika diasosiasikan ke dalam hitungan Masehi, maka sistem penanggalan Islam dimulai sejak 15 Juli tahun 622. Kalendernya disebut Hijriah dan pemuda yang mengusulkan gagasan tadi bernama Ali bin Abi Thalib.
Sistem penghitungan
Berbeda dari penanggalan Masehi yang berpatokan pada rotasi matahari, penanggalan Hijriah atau disebut juga penanggalan Komariah berkonsentrasi pada rotasi bulan. Setahun dalam penanggalan Hijriah ini lebih pendek 11 sampai 12 hari dari penanggalan Masehi atau kalender Solar.
Adapun nama-nama bulan yang masuk ke sistem penanggalan ialah sebagai berikut: Muharam, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, Dzulhijjah.
Amirul Ulum dalam artikel Menelisik Histori Muharam dan Hijriah yang diunggah di NU Online, menjelaskan bahwa Muharram ditetapkan sebagai bulan pertama penanggalan Hijriah karena pada bulan ini, Nabi Muhammad pertama kali memiliki niat dan rencana untuk berhijrah.
Nabi merealisasikan niatnya itu dengan pergi dari kota Makkah pada Kamis di akhir bulan Shafar dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada tanggal 2 Rabiul Awal atau 20 September 622 M untuk menuju ke Madinah. Tahun saat peristiwa ini terjadi ditetapkan sebagai tahun 1 Hijriah.
Penanggalan Hijriah di Indonesia
Pengenalan kalender Hijriah di Indonesia mestinya bersamaan dengan datangnya agama Islam ke tanah Jawa. Para pendakwah, sebagaimana biasa, selalu membawa bermacam-macam produk budaya mereka. Di antara produk budaya yang dimaksud menurut penuturan Ruswa Darsono dalam Penanggalan Islam: Tinjauan Sistem, Fiqih dan Hisab (2010) adalah metode penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (komariah) yang dikenal dengan penanggalan Hijriah. Masyarakat Jawa sendiri juga sudah memiliki sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan Saka.
Sejarawan seperti M.C Ricklefs merupakan sosok Indonesianis yang mendeskripsikan bila asal mula penanggalan tersebut tidak bisa tidak dikaitkan dengan sosok Sultan Agung (1613-1645), Sultan Mataram Islam ketiga. Ia mengakulturasikan penanggalan Saka yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan Hijriah. Dalam penelitiannya yang dipublikasi lewat buku Mengislamkan Jawa (2013), upaya yang dilakukan Sultan Agung ini konon bertujuan untuk mengikis sentimen antara kubu Keraton dan Islam.
Contoh wujud akultarasi yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menamai bulan pertama dalam penanggalan Islam yakni Muharam dengan sebutan Suro. Konsekuensinya baik tahun baru Jawa dan Islam perayaannya sama-sama diselenggarakan pada 1 Muharam.
Berbeda dengan Ricklefs, Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II (1939) justru memandang fenomena ini sebagai sebuah “gimick” kekuasaan. Ia menyebut jika perubahan kalender itu bagian dari ambisi Sultan Agung dalam menyiapkan peralihan kuasa dari Jawa Timur ke Jawa Tengah. Dari pesisir ke pedalaman. Ia sedang menjalani proses hegemoni secara politik maupun spiritual.
Mochammad Ahdi Nadhiva, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta