Sosok Ibu di Mata Gus Dur: Tak Banyak Bicara, Tapi Bertindak
Selasa, 22 Desember 2020 | 08:15 WIB
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah catatannya berjudul ‘Seribu Jilid Makna Jejak Ibu’ menceritakan berbagai kisah antara dirinya dengan sang ibu, Ny Hj Solichah Wahid Hasyim. Gus Dur menilai, Nyai Solichah adalah sosok ibu yang tidak pernah bicara tapi bertindak.
“Ibu saya tidak pernah banyak bicara tapi bertindak. Beliau bisa berperan dalam banyak kegiatan serta mendirikan dan aktif di berbagai yayasan sosial. Termasuk Yayasan Bunga Kamboja (YBK),” kata Gus Dur dalam cacatannya itu yang terdapat dalam buku Ibuku Inspirasiku (2015), diterbitkan Pustaka Tebu Ireng.
“Aktivitasnya (Nyai Solichah) itu telah berbicara dengan makna demikian dalam. Sama saja bicara kepada saya seribu jilid. Beliau lebih suka program yang kecil-kecil daripada yang muluk-muluk,” ungkap Presiden keempat Republik Indonesia dalam tulisannya itu.
Gus Dur banyak menceritakan sosok ibunya yang merupakan politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meskipun begitu, kata Gus Dur, Nyai Solichah tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk mengikuti kiprah yang dilakukan sebagai politisi di PPP.
“Ibu tidak pernah menghalangi tapi juga tidak pasrah sikapnya. Ibu saya itu tidak pernah memaksa anak harus begini-begitu dan mempermasalahkan suara-suara tertentu tentang NU. Cuma, kalau beliau tanya pasti minta garis-garis besarnya saja sudah cukup,” terang Gus Dur.
Lantaran berbagai aktivitas yang padat, Gus Dur dan sang ibu jarang sekali bertemu. Namun ketika ada kesempatan untuk bersua, maka itu adalah pertemuan yang berkualitas. Dengan sangat mengharukan, Gus Dur juga memberikan pemaknaan soal pertemuan itu.
“Jadi menurut saya, tidak penting adanya pembagian jam pertemuan orang tua kepada anaknya. Tapi yang paling penting anak itu merasa bahwa orang tua itu memikirkan kebutuhannya. Jadi dalam kesulitan apa pun anak boleh datang kepada orang tuanya,” tutur Gus Dur.
Gus Dur juga menulis untaian kalimat yang menggambarkan soal bagaimana kehidupan relasi antara ia dengan anak-anaknya. Ia pun jarang bertemu dengan seluruh putrinya karena kesibukan yang sangat padat. Namun Gus Dur mengaku, apa pun kesulitan yang didera keempat anaknya, pasti diurusi.
“Anak saya juga jarang ketemu dengan saya, tapi saya urusi betul apa pun kesulitan keempat anak saya ini. Tidak ada anak-anak ibu yang sampai ‘lepas’. Itu tidak ada,” kata Gus Dur.
Pendidikan karakter keluarga
Dikisahkan pula dalam buku Ibuku Inspirasiku bahwa inspirasi pendidikan karakter dalam keluarga yang dilakukan Nyai Solichah adalah membebaskan anak-anaknya untuk mengemukakan pendapat dengan terbuka.
Bahkan untuk pendidikan pun, Nyai Solichah tidak sama sekali memaksakan kehendak sebagaimana orang tua pada umumnya. Putra-putrinya bebas menimba ilmu sesuai minat dan bakatnya dengan syarat dilandasi ilmu agama yang matang.
Dulu, untuk memperdalam pendidikan agama pada awal 1950, Nyai Solichah mendatangkan guru privat untuk mengajar. Di antaranya ilmu tajwid, fiqih, nahwu/sorof, tarikh (sejarah), dan hadits di rumahnya.
Berkat usaha Nyai Solichah, kini anak-anaknya sudah mampu berperan sesuai bidang dan ilmu masing-masing. Gus Dur, berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia pada 1999-2001. Kemudian Ny Hj Aisyah Wahid mengikuti jejak sang ibu, menjadi Ketua PP Muslimat NU.
Lalu KH Salahuddin Wahid menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng dengan arsitektur bangunan yang indah. Sementara Ny Hj Lily Khadijah Wahid menjadi Anggota DPR RI pada 2009-2014. Kiai Umar Wahid menjadi dokter spesialis paru dan kepala Rumah Sakit di Jakarta. Terakhir, KH Wahid Hasyim (Gus Im) menjadi tokoh NU dan memiliki jabatan di Badan Kesehatan Pendidikan Nasional.
Nyai Solichah ibarat ‘Ayam Induk’
Masih di dalam catatan Seribu Jilid Makna Jejak Ibu itu, Gus Dur mengatakan bahwa ibunya ibarat ‘Ayam Induk’ bagi pimpinan NU. Sebab dari rahim ibunya itulah, tokoh-tokoh NU lahir dengan tampilan ilmu yang matang dan kepemimpinan yang tangguh.
Ibu Gus Dur itu tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, melainkan langsung dilakukan dalam tindakan jauh sebelum masyarakat membahas soal kesetaraan gender itu. Hal tersebut dibuktikan Nyai Solichah dengan kiprah dan perannya di ruang publik.
Tokoh yang sangat dihormati Gus Dur itu lahir di Jombang pada 11 Oktober 1922. Nyai Solichah adalah anak kelima (dari sepuluh saudara) dari pasangan KH Bisri Syansuri dan Ny Hj Chadijah (adik KH Abdul Wahab Chasbullah).
Nyai Solichah Wahid Hasyim kemudian wafat pada 29 Juli 1994 di RSCM Jakarta di usia 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Kompleks Pemakaman Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Penulis: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad