Gambar yang dibagikan tersebut merupakan penggalan dari laporan-laporan cabang NU pada muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 2936. Laporan tersebut dimuat Berita Nahdlatoel Oelama pada salah satu edisi 1936.
Dalam laporan tersebut, utusan NU Bandung menyatakan keadaannya masih dalam kondisi tertidur. Mungkin maksudnya masih belum ada pergerakan masif sehingga sedikit hasilnya. Atau barangkali masih banyak mimpi yang belum terlaksana.
Karena utusan Bandung menyatakan bahwa jam'iyah masih tertidur, penulis laporan di Berita Nahdlatoel Oelama tersebut mendoakan agar Allah swt segera membangunkannya.
Meski dalam kondisi tertidur, mari kita simak laporan dari utusan NU Bandung tersebut yang disajikan dalam aksara Arab Pegon bahasa Melayu:
Lid (anggota) NU Bandung sampai 1936 ada 1200 orang. Kemudian kring (ranting)-nya ada 18. Sementara kegiatan tabligh (kegiatan keagamaan) mungkin semacam pengajian untuk anggota dan umat Islam pada umumnya berlangsung seminggu sekali.
Di akhir laporan tersebut, dituliskan tiap kring atau ranting memiliki koperasi. Karena pada keterangan sebelumnya disebutkan NU Bandung memiliki 18 ranting, jika tiap ranting memiliki koperasi, maka pada tahun itu, NU Bandung memiliki 18 koperasi.
Koperasi pada masa itu tak jauh berbeda pengertiannya dengan koperasi pada masa sekarang. Sebagai bukti, para kiai NU di tingkat pusat pada 1929 mendirikan Coperatie Kaoem Moeslimin (CKM) yang dipimpin KH Abdul Chalim Leuwimunding.
Baca Juga
Ada Koperasi di Masa Awal NU Berdiri
CKM tersebut berperan dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari anggotanya. Bahkan, sempat melakukan ekspor dan impor barang ke dan dari Jepang
Hal yang menarik adalah, utusan NU dari Bandung menilai cabangnya dalam kondisi tidur. Itu artinya, standar hidup dan bergeraknya cabang NU pada masa itu cukup tinggi.
Harus diingat, pada 1936, NU baru 10 tahun berdiri. Sementara cabangnya, dalam hal ini Bandung, mungkin baru berdiri antara 5-7 tahun. Selain itu pada 1936, Indonesia masih dalam kondisi penjajahan Belanda. Dalam kekuasaan bangsa asing,
Hal yang menarik adalah, utusan NU dari Bandung menilai cabangnya dalam kondisi tidur. Itu artinya, standar hidup dan bergeraknya cabang NU pada masa itu cukup tinggi.
Harus diingat, pada 1936, NU baru 10 tahun berdiri. Sementara cabangnya, dalam hal ini Bandung, mungkin baru terbentuk secara resmi antara 5-7 tahun.
Perlu dipertimbangkan juga pada 1936, Indonesia masih dalam kondisi penjajahan Belanda.
Dengan demikian pada masa itu, cabang-cabang NU tumbuh dalam genggaman kekuasaan bangsa asing, penuh dengan batasan-batasan dan peraturan-peraturan yang mengekang, sandang, pangan, papan sederhana, informasi, transportasi, pengetahuan masih terbatas.
Meski demikian, NU Bandung, katakanlah 7 tahun berdiri, sudah memiliki 18 koperasi. Tidurnya saja seperti itu. Dalam kondisi yang serba sulit pun bisa seperti itu.
Sebagai perbandingan yang bernuansa pertanyaan, dengan kondisi tidak sesulit zaman penjajahan Belanda, apakah sudah bisa dikatakan bahwa NU Bandung saat ini tidak tidur?
Abdullah Alawi, penulis buku-buku sejarah NU, tinggal di Bandung