Sebelumnya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dalam Rapat Besar Konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura, pada 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur mengeluarkan seruan “Resolusi Jihad” : “Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam”
Seluruh rakyat terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada, tak terkecuali kaum Nahdliyin dan Nahdliyat. Para pengurus dan anggota NU beserta banom pemudanya (Ansor NU), ikut bergabung di dalam Hizbullah dan Sabilillah, berjuang memanggul senjata menghadapi musuh.
Lalu, bagaimana Muslimatnya? Mereka pun tidak ketinggalan. Kaum ibu bekerja di berbagai lapangan, seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, turut memberi penerangan ke sana-sini, dan menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh. Bahkan, ada juga yang ikut mengangkat senjata.
Yang lebih berat, perjuangan para ibu Muslimat NU tersebut, bersamaan dengan tugas mereka untuk menyusun dirinya ke dalam, yakni menjadikan Muslimat sebagai bagian dari NU dan diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri (badan otonom).
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1946, Di masa perang serta bertepatan dengan penyelenggaraan Kongres NU ke-XVI di Purwokerto, Muslimat resmi menjadi bagian NU dengan nama NU Muslimat (NUM). Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut :
Penasehat : Nyai Fatmah Surabaya
Ketua : Ny Chadijah Pasuruan
Penulis I : Ny Mudrikah
Penulis II : Ny Muhajja
Bendahara : Ny Kasminten Pasuruan
Pembantu : Ny Fatehah, Ny Musyarrafah Surabaya, Ny Alfijah.
(Ajie Najmuddin, dikutip dari Aboebakar Atjeh. 1957. Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar)