Ada seorang kiai yang sangat perhatian terhadap hal-hal detil. Ia tak segan-segan menegur atau mengingatkan santri ketika terjadi hal-hal yang salah atau kurang tepat. Selain karena memang sudah menjadi watak dan tabiat sang kiai, hal ini – dalam tradisi pesantren – juga menjadi semacam pendidikan karakter. Para santri akan mencontoh keteladanan, perilaku dan tindak tanduk sang kiai.
Seringkali, pengasuh pesantren ini berpatroli di pagi hari, membangunkan santri-santrinya. Tak hanya itu, ketika matahari sudah kelihatan batang hidungnya, tapi lampu masih menyala, ia tak segan-segan menegur santri agar mematikannya. Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menghemat dan menghindari kemubadziran.
Alkisah, di suatu pagi sekitar waktu dhuha, sang kiai berjalan dari kediamannya menuju pesantren. Sebagaimana kita ketahui bersama, tradisi santri begitu takzim kepada kiai. Wajarlah ketika sosoknya mau datang saja, sikap santri sudah gelagapan dan grogi.
“Pak Kiai datang, Pak Kiai datang,” kata salah satu santri, yang melihat sang kiai mulai berjalan dari kediamannya, yang biasa disebut ndalem.
Guguplah para santri. Mereka membenarkan apa yang belum benar. Ada yang memungut-mungut sampah dimasukkan ke tempatnya. Ada pula yang memasukkan jemuran yang tadinya diletakkan begiru saja di depan tralis kamarnya, dan seterusnya.
Torin merupakan santri yang dikenal nakal karena sering bolos madrasah. Ia baru saja mandi di sungai dan mengetahui hal ini. Di tengah melihat para santri lain yang sibuk sendiri-sendiri, ia mengamati sekitar: apa yang belum beres?
Setelah menengok kanan kiri, ia melihat satu keganjilan: lampu di pojok lantai tiga Gedung pesantren masih menyala. “Wah, kalau Pak Kiai tahu pasti beliau akan marah!” bisiknya dalam hati.
Sontak, tanpa berpikir panjang, ia pun lari naik tangga menuju lantai tiga, tempat saklar lampu berada. Dihampiri tempat saklar lampu itu. Tapi ada yang janggal, setelah ditekan saklarnya, lampu tak juga mati. Ternyata saklarnya rusak. Ia bingung bukan kepalang.
Baca Juga
Humor: Kembali ke Al-Qur'an dan Hadits
Torin pun menengok ke arah jalan. Ia lihat, Pak Kiai masih sekitar seratus meter menuju pesantren. “Duh, gimana ya supaya lampu itu mati?” pikirnya, memutar otak. Ia gugup karena membayangkan jika sang kiai tahu, ia akan marah. Tak baik membuat seorang guru marah.
Tiba-tiba, di tengah berpikir keras, ia melihat ada sapu ijuk yang tergeletak di dekat tempat sampah. Kontan saja, otaknya mendapatkan ide. Diambilnya sapu itu, lalu dipukullah lampu yang masih menyala itu, “plakkk!!!” Lampu pun mati. (Ahmad Naufa)