Internasional

68.122 Nyawa Rakyat Palestina Gugur di Atas Tanahnya Sendiri

Selasa, 7 Oktober 2025 | 12:00 WIB

68.122 Nyawa Rakyat Palestina Gugur di Atas Tanahnya Sendiri

Iring-iringan jenazah rakyat Palestina korban genosida Israel di Gaza Barat pada September 2025. (Foto: WAFA)

Jakarta, NU Online

Konflik di Gaza telah menewaskan sedikitnya 68.122 warga sipil Palestina sejak 7 Oktober 2023, menurut data terbaru yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS).


Angka korban yang terus membengkak ini memperkuat fakta bahwa Israel tengah melancarkan praktik genosida yang sistematis. Data resmi tersebut menjadi bukti statistik atas besarnya nyawa yang melayang dalam kurun waktu dua tahun, dengan korban terbesar berasal dari kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, tenaga medis, dan jurnalis yang seharusnya dilindungi hak-hak sipilnya.


Genosida Israel secara sistematis dilancarkan tidak hanya melalui ledakan peluru tetapi juga melalui kelaparan yang direkayasa, penghancuran sistem vital, dan pembungkaman suara kebenaran.


Masa Depan Palestina yang Diputus dengan Terbunuhnya Anak-anak

Di antara 68.122 nyawa tersebut, terdapat lebih dari 20.000 anak sebagai suatu generasi yang musnah sebelum sempat memahami makna sebuah peperangan. Laporan Save The Children menyatakan rata-rata satu anak terbunuh setiap jam selama 23 bulan terakhir. Hal ini menunjukkan indikator dari sebuah kebijakan militer yang mengabaikan prinsip pembedaan (distinction) dalam Hukum Humaniter Internasional. 


Kematian ini terjadi tidak hanya di reruntuhan rumah yang hancur oleh bom, tetapi juga berlangsung di dinding-dinding setengah hancur rumah sakit di Gaza akibat gizi buruk.


Kementerian Kesehatan Gaza mencatat setidaknya 140 anak meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi. Bencana kelaparan ini adalah konsekuensi langsung dari blokade total, pembatasan akses bantuan kemanusiaan, dan penghancuran infrastruktur pertanian serta pasokan air oleh Israel. 


Dalam kerangka Konvensi Genosida 1948, Pasal II(c) secara eksplisit menyebut "menimpakan kondisi kehidupan yang diperhitungkan akan mengakibatkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian" sebagai salah satu unsur genosida. Kematian anak-anak Palestina akibat kelaparan dengan demikian bukanlah bencana yang tidak disengaja (collateral damage), melainkan sebuah hasil (outcome) yang dapat diprediksi dan disengaja dari kebijakan pengepungan.


Israel Hancurkan Pilar Sosial dengan Menargetkan Perempuan dalam Serangan

Laporan UN Women mengonfirmasi lebih dari 28.000 perempuan dewasa dan anak-anak telah tewas. Setiap jam, satu perempuan dan satu anak perempuan menjadi korban. 


Namun, kematian fisik hanyalah puncak gunung es karena sejatinya perempuan yang selamat tengah menghadapi beban ganda untuk menjadi tulang punggung keluarga di tengah kehancuran, sekaligus menanggung trauma psikologis yang dalam dan risiko meningkatnya kematian ibu akibat runtuhnya sistem kesehatan.


Pemusnahan perempuan dalam skala besar seperti yang dilakukan Israel berdampak strategis dalam menghancurkan inti dari struktur sosial dan regenerasi sebuah komunitas. 


Dengan membunuh ribuan ibu dan menciptakan trauma massal, agresi Israel tidak hanya membunuh individu, tetapi juga melumpuhkan kapasitas bangsa Palestina untuk memulihkan diri dan membangun masa depan. 


Tenaga Medis yang Tak Luput dari Bom dan Peluru

Gugurnya lebih dari 1.400 tenaga medis di Gaza adalah pelanggaran perang yang terang-terangan dilancarkan Israel. Salah satunya, dokter Marwan Al Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Ia beserta istri dan anak-anaknya, tewas dalam serangan udara langsung di tempat tinggal sementara mereka di Gaza utara pada 2 Juli 2025 lalu.


Organisasi seperti Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders) telah berulang kali mengutuk serangan terhadap fasilitas dan pekerja kesehatan mereka. Serangan-serangan ini melanggar Konvensi Jenewa yang dengan tegas melindungi personel medis dalam situasi konflik.


Dengan menargetkan tenaga medis dan rumah sakit, Israel tidak hanya mencabut nyawa para penyelamat tetapi juga melumpuhkan seluruh sistem yang menjadi satu-satunya harapan bagi ribuan korban yang terluka dan sakit. Tindakan ini merupakan bentuk pemusnahan secara tidak langsung. Israel menciptakan situasi saat luka yang seharusnya bisa diobati berujung pada kematian dan penyakit yang sepele menjadi wabah mematikan dengan terus menargetkan para pekerja medis. 


Israel Membungkam Mata Dunia dengan Menargetkan Jurnalis

Lebih dari 230 jurnalis dan pekerja media Palestina telah terbunuh dalam dua tahun konflik Israel-Palestina berlangsung. Pembunuhan lima jurnalis Al Jazeera pada Agustus 2025 adalah contoh nyata dari upaya sistematis untuk memutuskan suplai informasi independen dari Gaza.


Seperti ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Anthony Bellanger, tanpa jurnalis, dunia hanya mendapat narasi yang bias.


“Pekerja media di wilayah konflik bersenjata harus diperlakukan dan dilindungi layaknya warga sipil dan diizinkan untuk bekerja tanpa gangguan. IFJ mengimbau semua pihak yang terlibat dalam konflik ini untuk melakukan yang terbaik demi melindungi jurnalis dan pekerja media,” ujar Bellanger. 


Ia menambahkan, “ada perhatian yang besar dan mendalam terhadap konflik ini di seluruh dunia, tetapi orang-orang hanya akan dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi jika jurnalis diizinkan untuk bekerja.”


Pembunuhan jurnalis ini adalah strategi Israel yang disengaja untuk mengaburkan bukti, mencegah akuntabilitas, dan mengendalikan narasi. Dengan membungkam para pencari fakta, Israel sebagai pelaku kekerasan berharap dapat melanjutkan operasinya di balik tirai ketidaktahuan dan penyangkalan global. Bersamaan dengan setiap jurnalis yang gugur, sebuah kebenaran ikut terkubur.


Jumlah korban jiwa warga sipil dalam konflik Gaza yang telah mencapai angka 68.122 menunjukkan pola konsisten pada kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, tenaga medis, dan jurnalis. Data yang tercatat sejak Oktober 2023 ini menunjukkan intensitas korban yang terus berlanjut tanpa tanda-tanda pengurangan.


Tingkat kematian yang tetap tinggi memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Runtuhnya sistem kesehatan, kelangkaan pasokan air bersih, dan minimnya akses makanan semakin meningkatkan risiko kematian di kalangan penduduk sipil yang masih berjuang mempertahankan kedaulatan Palestina.


Tanpa adanya langkah-langkah nyata untuk melindungi penduduk sipil, kekhawatiran peningkatan jumlah korban akan mempertajam krisis kemanusiaan yang kian memprihatinkan.