Di Belanda, Gus Ulil Jelaskan Agama dan Sains Saling Melengkapi
Kamis, 9 Juni 2022 | 16:00 WIB
Ketua Lakpesdam Gus Ulil Abshar Abdalla saat menjadi pembicara kunci pada Konferensi Internasional PCINU Belanda di Universitas Vrije, Amsterdam, Belanda, Rabu (8/6/2022).
Jakarta, NU Online
Agama dan sains menjadi perbincangan hangat selama pandemi Covid-19. Persoalan mana yang lebih otoritatif antara ulama dan saintis dalam pengambilan kebijakan juga kerap kali memicu perdebatan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan, agama dan sains merupakan dua elemen yang saling melengkapi dalam menyikapi pandemi Covid-19.
Hal ini diungkapkannya saat mengisi Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda di Universitas Vrije, Amsterdam, Belanda, Rabu (8/6/2022).
Menurutnya, agama tidak memiliki kontradiksi dengan sains dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19. Pada kesempatan itu, Gus Ulil menyampaikan bahwa titik temu dalam melihat hubungan agama dan ilmu pengetahuan, serta peran agama dalam menghadapi adanya pandemi telah dijelaskan secara sederhana melalui sebuah hadits.
“Para ulama, kiai, dan ustadz sering mengutip hadis Nabi Muhammad saw: Seorang laki-laki datang mengunjungi Nabi Muhammad di Madinah menunggangi unta. Sesampainya di Madinah, ia membiarkan untanya berada di luar rumah Nabi sambil bertanya: “Haruskah saya melepaskan unta saya tanpa mengikatnya, menyerahkannya sepenuhnya kepada penjagaan Allah, atau haruskah saya mengikatnya dulu dan kemudian menyerahkannya kepada Allah?,” ucap Gus Ulil.
“Nabi menjawab dengan pernyataan yang kemudian menjadi kutipan terkenal: “Iʿqilhā tsumma tawakkal”. Pesan Nabi itu bermakna: dia harus mengikat unta, sebelum menyerahkannya kepada pemeliharaan Allah (bertawakal),” imbuhnya.
Narasi tersebut, sambungnya, menggambarkan relasi usaha manusia (ikhtiar) dengan qadar. Usaha manusia dan ketentuan Allah, dalam narasi tersebut tidak dilihat sebagai dua hal yang berlawanan, melainkan dua hal yang saling berkaitan.
“Jika ilmu dan pengetahuan dipandang sebagai representasi dari usaha manusia untuk memahami alam, maka ilmu termasuk dalam kategori ikhtiar yang mana disarankan dalam agama. Namun, ikhtiar ilmiah masih perlu disertai dengan sikap spiritual tertentu, di mana segala sesuatu dipahami sebagai proses, dari sudut pandang agama, menurut kehendak dan rencana Tuhan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, hal paling kentara yang ia contohkan yakni saat pemerintah Arab Saudi memberlakukan penutupan kedua tempat suci umat Islam, Makkah dan Madinah pada awal Maret 2020.
“Kebijakan penutupan total dua kota paling suci dalam Islam oleh pemerintah Saudi adalah jenis hubungan antara agama dan sains yang sangat simbolis, yang dikonseptualisasikan oleh otoritas Saudi. Kerajaan Arab Saudi telah dikenal luas karena konservatisme dan interpretasi yang ketat akan doktrin Islam karena Wahabisme di sana,” paparnya.
Mengingat konservatisme tersebut, ia menilai beberapa pihak akan berpikir bahwa otoritas Arab Saudi bakal mendukung gerakan anti-vaksin dan melawan protokol yang dilakukan menghentikan penyebaran virus seperti lockdown, pembatasan sosial, mengenakan masker, dan lain-lain.
Sebaliknya, otoritas Arab Saudi justru termasuk salah satu otoritas di dunia Muslim yang pertama untuk mengambil kebijakan drastis tersebut.
“Tentunya, kita tidak dapat melihat kebijakan Saudi ini didorong semata-mata oleh keharusan pertimbangan kesehatan, tidak melibatkan sanksi dari otoritas agama,” ujar tokoh kelahiran Pati, Januari 1967 ini.
“Bahkan kerajaan yang paling konservatif di dunia Muslim tidak mempermasalahkan mengikuti apa yang dikatakan ilmu pengetahuan dalam mengekang laju penyebaran Covid-19. Bagaimana kita bisa memahami ini?,” tambahnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syakir NF