Kudeta Militer, ASEAN Perlu Tekan Myanmar Cegah Kemungkinan Terburuk
Kamis, 4 Februari 2021 | 05:35 WIB
Jakarta, NU Online
Junta militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Hal itu didasarkan atas dugaan mereka terhadap pelanggaran Pemilu. Rakyat yang pro-demokrasi pun turun untuk melakukan protes terhadap perlakuan tersebut, selain karena dorongan dari Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dari dalam tahanan.
Peneliti Asia Tenggara Ahmad Suaedy menyampaikan bahwa ASEAN perlu bersikap tegas terhadap Myanmar untuk mencegah kemungkinan terburuk terjadi, seperti genosida terhadap kelompok-kelompok minoritas yang mendiami wilayah tertentu, khususnya Muslim Rohingya.
“Negara ASEAN perlu menekan Myanmar agar tidak melakukan kejahatan genosida,” katanya kepada NU Online pada Kamis (4/2).
Sebab, jelasnya, Myanmar merupakan negara multietnis. Beberapa etnis minoritas mendiami wilayah-wilayah tertentu. Dalam sejarahnya, sebagian kecil di antara mereka pernah berupaya untuk melepaskan diri dari negara tersebut atau meminta otonomi daerah. Hal demikian tentu digeneralisasi oleh pihak militer sehingga dampaknya meluas.
Terlebih etnis Rohingya yang mendiami Rakhine State. Mereka mengalami dobel minoritas, yakni secara suku maupun agamanya. Suaedy menyebut bahwa wilayah tersebut pernah menjadi sebuah vasal (tunduk) terhadap sebuah kerajaan kecil di Bangladesh.
“Rohingya pernah menjadi wilayah otonom kerajaan Islam di Bangladesh, daerah yang tunduk terhadap kerajaan tersebut,” kata Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu.
Tidak hanya perihal minoritasnya, di wilayah yang mereka tinggali juga terdapat minyak dan berbagai kandungan bumi lainnya. Hal ini membuat pemerintah hendak menguasai wilayah tersebut guna merebut kandungan-kandungan di dalamnya.
Tak ayal, mereka menuduh Rohingya sebagai pendatang. Bahkan Rohingya bukan hanya dianggap sebagai pendatang, tapi juga dinilai sebagai pendatang haram illegal immigrant. Padahal, tuduhan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Masyarakat Rohingya mengklaim bahwa tanah yang mereka diami merupakan milik mereka sejak leluhurnya dulu. Mereka juga mengakui bahwa saat ini wilayahnya masuk dalam Negara Myanmar.
Padahal di masa mula merdeka, masyarakat Rohingya juga diakui sebagai warga negara Myanmar. Namun, sejak kudeta 1962 dan pemberlakuan UU warga negara tahun1980-an, mereka tidak dianggap lagi sebagai warga negara Myanmar.
“Jadi, perlakuan terhadap minoritas sampai hari ini, termasuk di era Aung San Suu Kyi tidak banyak berubah,” ujar penulis buku Islam, Minorities, and Identity in Southeast Asia.
Hal inilah yang perlu didorong negara-negara luar agar mereka mendapatkan haknya sebagai warga negara yang sah dan dapat hidup dengan tenang dengan mendiami wilayah mereka.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad