Gerakan pembersihan dalam bentuk hijrah tersebut menyisakan beberapa tentara. Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisasi secara perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan pemberontakan.
Patoni
Penulis
Sejarah mencatat, ada sejumlah kelompok yang tidak menyetujui berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca-resmi dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Mereka kemudian melakukan gerakan subversif, makar, dan kudeta terhadap pemerintahan RI yang didukung mayoritas rakyat Indonesia.
Kelompok-kelompok tersebut antara lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang diprakarsai Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu digerakkan oleh Dipo Nusantara Aidit, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan oleh Letkol Achmad Husein, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dimotori oleh Lektol Venjte Sumual, Kolonel D.J. Somba, dan Mayor Eddy Gagola.
Baca juga: Kiai NU di Surakarta Menghadapi Huru-hara 1965
Baca juga: Saat Kiai-kiai Menangkal Para Pemberontak Negara
Sekilas dilihat, upaya bughot (pemberontakan) sebagian besar dimotori oleh bekas tentara yang sudah merasa tidak sejalan dengan visi pemerintahan yang ada dengan ambisi berkuasa yang tinggi. Proklamasi kemerdekaan RI dibarengi fenomena gerakan hijrah pasukan, baik dari tentara nasional, Hizbullah dan Sabilillah dari kawasan jajahan Belanda ke kawasan RI.
Gerakan pembersihan dalam bentuk hijrah tersebut menyisakan beberapa tentara. Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisasi secara perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan pemberontakan.
Dijelaskan oleh Abdul Mun’im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisasi kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Baca juga: Ketika Para Ulama Menyikapi Tipu Muslihat Penjajah
Baca juga: Mengungkap Organisasi Barisan Kiai dalam Perjuangan Kemerdekaan
Setelah itu, mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10 Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan maklumat Pemerintah Islam Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam, menggantikan Republik Indonesia yang dianggap kafir dan komunis oleh Kartosoewirjo.
Kondisi keamanan nasional seketika kacau apalagi PKI merespons DI/TII yang menganggap bahwa Indonesia merupakan negara komunis dengan menggelorakan perlawanan dengan mengadakan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948. Jika DI/TII ingin mendirikan Negara Islam, PKI berupaya menegakkan Negara Soviet Indonesia.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI ini mendorong NU sebagai organisasi yang loyal terhadap NKRI untuk segera mengangkat Soekarno sebagai waliyyul amri ad-dharuri bissyaukah yang sah sehingga diharapkan bisa menyingkirkan semua yang memberontak dan memusuhi negara.
Sikap NU dan pesantren yang tegas terhadap aksi pemberontakan menyebabkan mereka dimusuhi oleh DI/TII maupun PKI. Beberapa perangkat dakwah NU menjadi sasaran teror. Pesantren, masjid, dan madrasah NU dibakar, serta beberapa kiai diculik dan harta benda dirampas dengan tidak berperikemanusiaan. Bahkan salah satu kiai NU, KH Idham Chalid menjadi salah satu sasaran pembunuhan.
Baca juga: Saat Kiai-kiai Menangkal Para Pemberontak Negara
Baca juga: Strategi Amoral Kolonial Belanda di Sekitar Pabrik
Dari peristiwa-peristiwa tragis di atas menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara mendapat resistensi dari bangsa sendiri dengan membawa ideologi transnasional atau impor. Kini, ideologi-ideologi impor juga terlihat dari gerakan kelompok-kelompok Islam konservatif yang ingin mengubah dasar negara Pancasila. Semisal Hizbut Tahrir (HT) dengan khilafahnya. Namun, HT di Indonesia telah dibubarkan oleh Pemerintah RI dan dihukumi sebagai organisasi terlarang sejak 19 Juli 2017.
Ketika ditarik simpul, eksistensi negara bangsa berdasarkan Pancasila tentu saja menemui sinyal bahaya. Bukan hanya dalam bentuk pemberontakan, tetapi juga upaya kudeta dan makar yang terjadi dari masa ke masa sejak tahun 1945.
Tanggal 1 Oktober lalu yang kita peringati sebagai hari Kesaktian Pancasila harus dimaknai secara luas. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bermakna bangsa Indonesia mampu bertahan dan tetap eksis dari rongrongan berbagai upaya untuk meruntuhkan negara, baik dari luar maupun dari dalam.
Sebab itu, menurut Sejarawan Asvi Warman Adam (Kompas, 2020), peringatan Hari Kesaktian Pancasila seyogyanya tidak hanya menyangkut kudeta Gerakan 30 September 1965, tetapi juga kudeta atau pemberontakan yang terjadi sejak Indonesia merdeka. Seperti Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta, termasuk RMS (Republik Maluku Selatan), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pemberontakan atau kudeta itu berideologi kiri dan kanan serta kedaerahan. PRRI/Permesta dibantu negara asing, yakni Amerika Serikat.
Selain itu, ada beberapa tokoh dulunya berjuang untuk kemerdekaan RI seperti Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daoed Beureuh di Aceh, dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, tetapi mereka kemudian melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia yang sah.
Tetap saja apa yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut termasuk pemberontakan dan kudeta yang tidak dapat dibenarkan. Sedangkan setiap upaya pemberontakan, kudeta, dan makar dapat merusak persatuan bangsa dan mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua