Internasional

Mahasiswa-Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan, Ungkap Kejahatan era Orde Baru

Ahad, 9 November 2025 | 12:00 WIB

Mahasiswa-Diaspora Indonesia di Sydney Tolak Soeharto Jadi Pahlawan, Ungkap Kejahatan era Orde Baru

Soeharto. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)

Sydney, NU Online

Sejumlah mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, Australia, menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Mereka juga mengungkap sejumlah kejahatan Soeharto saat memimpin Indonesia selama 32 tahun, pada era Orde Baru.


"Kami, mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney, menyatakan menolak tegas terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto," demikian pernyataan mahasiswa dan diaspora Indonesia, kepada NU Online, pada Ahad (9/11/2025).


Mereka menganggap Soeharto tidak layak menerima gelar Pahlawan Nasional karena rekam jejaknya selama berkuasa sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan penindasan terhadap rakyat Indonesia.


Para mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney itu kemudian mengungkapkan berbagai alasan penolakan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.


Pertama, melakukan pelanggaran HAM berat.

Soeharto bertanggung jawab atas tragedi pembunuhan massal 1965-1966, yang membuat ratusan ribu orang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan dibunuh tanpa proses hukum.


Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa tak bersalah, tetapi juga meninggalkan stigma sosial yang diwariskan kepada anak dan cucu korban, yang selama puluhan tahun mengalami diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.


Selain itu, operasi militer di Timor Timur, Penembakan Misterius (Petrus), Tragedi Tanjung Priok, Aceh, dan Papua yang dilancarkan pada masa kekuasaan Soeharto menimbulkan ribuan korban jiwa, penyiksaan, dan penghilangan paksa.


Hingga kini, berbagai pelanggaran tersebut belum pernah mendapatkan keadilan bagi para korban dan keluarganya.


Kedua, melakukan dan melanggengkan KKN

Rezim Orde Baru menjadi simbol KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) di Indonesia. Soeharto dan keluarganya menguasai berbagai sektor ekonomi melalui jaringan perusahaan dan yayasan, antara lain proyek mobil nasional Timor dan perusahaan jalan tol milik anak-anaknya.


Lebih-lebih, Orde Baru lekat dengan kronisme yang abai terhadap tata kelola dan ikut andil dalam menyuburkan praktik KKN di segala lini kehidupan Indonesia sehingga berdampak sistemis dan mengerdilkan cita-cita kemerdekaan.


Ketiga, otoriter dan membunuh demokrasi

Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto menegakkan pemerintahan yang otoriter dan menekan kebebasan rakyat.


Pers dikontrol ketat, partai politik dipaksa melebur, dan oposisi dibungkam. Aktivis, mahasiswa, dan tokoh kritis banyak ditangkap, disiksa, bahkan diculik, salah satunya saat menjelang kejatuhannya pada 1998. Penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi menjadi simbol matinya demokrasi di bawah rezim Soeharto.


Keempat, rasis terhadap etnis Tionghoa

Soeharto juga meninggalkan jejak rasisme institusional terhadap warga Tionghoa. Ia melarang penggunaan bahasa dan aksara Mandarin di ruang publik serta membatasi perayaan kebudayaan Tionghoa.


Puncaknya terjadi pada kerusuhan Mei 1998, ketika banyak warga keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, sedangkan negara gagal memberikan perlindungan dan keadilan bagi mereka.


Kelima, penyebab krisis ekonomi

Kebijakan ekonomi Soeharto yang koruptif dan sarat monopoli menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis ekonomi 1997-1998. Jutaan rakyat kehilangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, deforestasi hutan, eksploitasi SDA yang berlebihan, dan kesenjangan sosial melebar. Hingga kini, luka sosial akibat ketidakadilan dan kekerasan di masa Orde Baru masih dirasakan oleh generasi penerus bangsa.


Mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney juga menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi yang diperjuangkan bangsa Indonesia.


"Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus penderitaan korban, memutarbalikkan sejarah, dan mencederai semangat reformasi 1998," tegas mereka.


Berikut nama-nama mahasiwa dan diaspora Indonesia di Sydney yang secara tegas menolak Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.


1. Slamet Thohari, Mahasiswa Doktoral, Western Sydney University

2. Muhyidin Basrani, Mahasiswa Doktoral, Western Sydney University

3. Mahesti Hasanah, Mahasiswi Doktoral, University of Sydney

4. Adi Nugroho, Mahasiswa Doktoral, University of New South Wales

5. Lailly Prihatiningtyas, Mahasiswi Doktoral, University of Technology Sydney.

6. M Dian Hikmawan, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

7. Antonius Nugraha Widhi Pratama, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

8. Hery Prasetyo, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

9. Rahmatul Furqan, Mahasiswa Doktoral, Western Sydney University

10. Eka Sartika, Mahasiswa Doktoral, Western Sydney University

11. Antarika, Librarian Central West Libraries

12. Ayu Siantoro, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

13. Risalatul Hukmi, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

14. Mohammad Nanda Widyarta, alumnus program doktoral, University of New South Wales

15. Miranti Martin, Mahasiswa Doktoral, University of New South Wales

16. Annayu Maharani, Mahasiswi magister. University of Sydney

17. Hijrotul Magfiroh, Mahasiswa master Macquarie University

18. Sidhi Vhisatya, Pelajar Magister University of Technology Sydney

19. Lucky Amalia, Mahasiswi Doktoral University of Sydney

20. Agita Risma Nurhikmawati, Mahasiswa Doktoral University of New South Wales

21. Nina Setiawan, Diaspora Indonesia

22. Eko Waluyo, Diaspora Indonesia

23. Ifana Tungga, Mahasiswa Magister, The University of Sydney

24. Dwi Arni Siti Margiyanti, Mahasiswa Doktoral, Western Sydney University

25. Trisna Mulyati, Mahasiswi Doktoral, University of Technology Sydney

26. Muhammad Rozin, Mahasiswa Doktoral, University of Sydney

27. Ethan Joes, Diaspora Indonesia