Sejumlah Alasan Soeharto Tak Layak Diangkat Jadi Pahlawan Nasional
NU Online · Sabtu, 8 November 2025 | 09:35 WIB
Diskusi publik bertajuk NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru pada Jumat (7/11/2025) di Outlier Cafe Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. (Foto: NU Online/Patoni)
Patoni
Penulis
Tangerang Selatan, NU Online
Sejarawan, budayawan, dan aktivis 98 menilai bahwa rezim Soeharto pada masa Orde Baru dijalankan melalui konsolidasi politik yang sarat represi, pembungkaman, dan kekerasan rezim terhadap rakyat tanpa keadilan dan pengadilan. Karena itu, mereka menilai tidak terdapat alasan kuat untuk mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru pada Jumat (7/11/2025) di Outlier Cafe Ciputat, Tangerang Selatan, Banten yang turut menghadirkan sejarawan Bonnie Triyana, budayawan Hairus Salim, dan aktivis 1998 Mohamad Syafi Alielha atau Savic Ali serta aktivis Gen Z Lily Faidatin. Diskusi tersebut digelar Islami.co.
Konsolidasi Politik dan Represi
Sejarawan Bonnie Triyana menjelaskan bahwa sejak 1965 terjadi konsolidasi politik nasional dan internasional yang dilakukan Soeharto untuk memantapkan kekuasaan yang direncanakannya. Di tingkat kawasan, konsolidasi ASEAN dalam konteks Perang Dingin turut mendorong lokalisasi situasi politik Asia Tenggara. Indonesia pasca-1965 juga melakukan normalisasi hubungan dengan Belanda sebagai bagian dari strategi pemulihan hubungan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS).
Menurut Bonnie, pada periode 1965–1968 terjadi sebetulnya terjadi dualisme kepemimpinan. Secara de facto Soeharto menjadi pemimpin negara meski secara de jure Sukarno masih menjabat. Pada saat yang sama, terjadi berbagai operasi militer seperti “Operasi Kikis” yang menargetkan kelompok-kelompok yang dianggap dekat dengan Sukarno.
“Semua dilakukan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan Soeharto di level internasional dan nasional,” ujar Bonnie. Ia menambahkan bahwa pembantaian massal juga terjadi, misalnya di Purwodadi.
Ia menilai Pemilu 1971 yang kerap disebut demokratis justru berlangsung dalam situasi tidak seimbang. "Sebagian panitianya bahkan buta huruf. Kekuatan militer sangat dominan dan melakukan represi kepada NU, PNI, dan lainnya,” tegas Bonnie.
Soeharto juga dinilai memecah kekuatan politik, termasuk PNI maupun NU, untuk menyiapkan kemenangan dalam pemilu 1971 tersebut.
Kontestasi Memori
Bonnie menyebut Soeharto berupaya membangun legitimasi melalui kultur dan narasi sejarah, termasuk lewat film-film seperti G30S/PKI dan Janur Kuning. Produk budaya tersebut menjadi bagian dari kontestasi memori yang membuat masyarakat menerima dominasi politik Orde Baru.
“Dia adalah pemimpin yang muncul bukan melalui pemilihan, tetapi karena krisis politik. Karena itu legitimasi dibentuk melalui narasi budaya,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa propaganda ini membuat masyarakat tidak hanya menerima, tetapi juga meromantisasi rezim termasuk di bidang ekonomi dan pembangunan, terbaca dari slogan populer, “Enak zamanku toh?” Padahal pemerintahan Soeharto penuh dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), puncaknya ketika terjadi krisis 98.
Menurut Bonnie, narasi-narasi budaya yang digaungkan Soeharto membuat sosoknya seolah menjadi pelindung dan pembela rakyat. Kondisi itu, kata dia, membuat jabatan publik tersakralisasi dan memunculkan feodalisme politik hingga hari ini.
Korban Represi Meluas
Budayawan Hairus Salim menuturkan bahwa represi Orde Baru tidak hanya menimpa PKI, tetapi juga kekuatan politik lain seperti NU, PNI, dan bahkan Masyumi. Ia mencontohkan pembentukan Parmusi yang kampanyenya mendorong penolakan terhadap unsur-unsur politik Orde Lama, termasuk PNI dan NU.
“Masih banyak yang lupa bahwa Pemilu 1971 tidak berlangsung dalam suasana wajar. Di 19 kabupaten, 11 bupatinya adalah TNI,” ujarnya.
Soeharto Sumber Masalah
Aktivis 1998 yang Founder Islami.co, Savic Ali menyatakan bahwa Soeharto memperoleh dukungan dari ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar), ditambah sokongan Amerika Serikat yang ingin meneguhkan kepentingan geopolitiknya di kawasan Asia Tenggara.
“Soeharto menawarkan hak-hak dasar agar publik seolah-olah hidup tenang. Karena pada dasarnya orang Jawa tidak suka keributan,” katanya.
Menurut Savic, NU memiliki ketahanan sosial sehingga tidak mudah direpresi Soeharto. Ekosistem sosial yang kuat seperti pengajian membuat propaganda Orde Baru tidak efektif menembus komunitas NU yang tidak begitu akrab dengan televisi dan bioskop yang menayangkan film propaganda G30S/PKI.
Ia juga menilai rezim Soeharto telah menghilangkan banyak lapisan intelektual melalui gelombang penangkapan, pembungkaman, dan pembunuhan aktivis. Sampai pada akhirnya rezim problematiknya memicu krisis ekonomi 1998 yang membuat kemiskinan rakyat semakin meluas.
“Soeharto merupakan bagian dari sumber masalah. Legacy-nya semuanya bermasalah—dari KKN, kekuasaan tak terbatas, pembungkaman, hingga pembunuhan,” tegas Savic.
Ia juga menyoroti bahwa Soeharto tercatat sebagai salah satu kepala negara terkaya di dunia. Majalah TIME menyebut kekayaannya mencapai 15 miliar dolar AS yang hanya dinikmati keluarga dan kroni-kroninya, bukan rakyat.
"Dari mana kekayaannya? Padahal cuma tentara. Pengusaha saja belum tentu bisa," ucap Savic.
Para narasumber termasuk Lily Faidatin sepakat bahwa sejarah Orde Baru dipenuhi represi, kekerasan negara, manipulasi politik, serta kontrol terhadap memori kolektif rakyat. Karena itu, mereka menegaskan tidak ada cukup alasan untuk mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua