Mungkinkah Hak Veto Dicabut dari Anggota Dewan Keamanan PBB?
Sabtu, 16 Desember 2023 | 07:00 WIB
Jakarta, NU Online
Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali gagal menyepakati resolusi gencatan senjata di Gaza, Palestina pada Jumat (8/12/2023) lalu. Hal ini lantaran Amerika Serikat menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan kesepakatan tersebut. Padahal, dari 15 anggota DK PBB, 13 negara di antaranya mendukung resolusi tersebut, sedang Inggris memilih abstain.
Hak istimewa veto dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Rusia, dan China.
Hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu sempat mendapatkan seruan internasional yang ingin mengeliminasi hak veto. Dalam pertemuan PBB pada 2018, banyak negara anggota menyuarakan keinginan untuk menghapus hak veto dan menambah jumlah kursi untuk anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Pada tahun 2019, Indonesia juga mendukung usaha untuk menghapus hak veto serta mengembangkan langkah-langkah pengaturan terkait penggunaannya. Pertanyaannya kemudian, apakah memungkinkan untuk menghapus hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB?
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia M Luthfi Zuhdi menilai penghapusan hak veto anggota Dewan Keamanan PBB memungkinkan dilakukan.
"Dunia berubah secara kuat, dan umpamanya hegemoni negara-negara tersebut berubah, bisa saja (hak veto dicabut). Ini berkaitan dengan kekuatan," ujar Luthfi kepada NU Online, Jumat (15/15/2023).
Luthfi menyoroti ketidakadilan yang terdapat dalam distribusi hak veto saat ini, yang dianggapnya tidak sejalan dengan ukuran dan kemampuan negara-negara tertentu. Sebagai contoh, ketidaksesuaian dalam distribusi hak veto PBB yang hanya dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, dan Prancis.
“Hak veto diberikan karena mereka menang dalam perang. Dari segi ekonomi, Inggris atau Prancis juga kalah dengan Jerman, tapi karena Jerman kalah perang, jadi tidak memiliki hak veto,” tuturnya.
Luthfi juga menyinggung peran negara dalam konteks ini. Meskipun kerap dianggap sebagai negara berkembang, Luthfi mengingatkan bahwa pada tahun 2040-an Indonesia diprediksi menjadi negara terbesar kelima di dunia dalam bidang ekonomi.
Meski mengakui kompleksitas dan tantangan dalam upaya reformasi di tubuh PBB, utamanya terkait pencabutan hak veto, Luthfi menilai bahwa negara-negara yang memiliki kapasitas dan kemampuan harus terus berupaya memperjuangkan keadilan di dalam PBB dan pada tingkat internasional.
"Dunia ini penuh dengan ketidakadilan, tapi itulah kenyataannya. Negara-negara yang memiliki kemampuan harus terus merangsek untuk menuntut keadilan di dalam kehidupan berbangsa dan di PBB," tandas Luthfi.
Sebelumnya, dalam Forum R20 International Summit of Religious Authorities (ISORA) di Park Hyatt Jakarta pada Senin (27/11/2023) lalu, Pemimpin Asosiasi Studi Shinto Internasional, Jepang Yoshinobu Miyake menekankan perlunya reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Dewan Keamanan PBB untuk meningkatkan kapasitasnya dan mencabut hak veto dari anggota tetap.
"Dibutuhkan dua pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan berlebihan yang terus terjadi di Palestina dan Ukraina. Yang pertama adalah reformasi PBB, khususnya Dewan Keamanan, badan internasional yang bertanggung jawab mencegah konflik bersenjata antar negara," katanya.
Ia menilai, kebutuhan untuk mencabut hak veto dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB adalah mendesak. Pasalnya, setiap resolusi Dewan Keamanan yang menentang invasi Ukraina gagal oleh veto Rusia, dan resolusi Dewan Keamanan terkait dengan gencatan senjata kemanusiaan di Jalur Gaza gagal oleh veto Amerika Serikat.
“Maka dapat dikatakan bahwa Dewan Keamanan sekarang tidak berfungsi sama sekali," ungkapnya.