PBB Peringatkan Militer Myanmar soal Hak dan Prinsip Demokrasi Warga
Selasa, 16 Februari 2021 | 07:45 WIB
Seorang demonstran memegang poster di depan kendaraan lapis baja militer di Yangon, Myanmar, Senin (15/2). (Foto: EPA via BBC)
Jakarta, NU Online
PBB mengatakan kepada junta militer Myanmar bahwa “hak berdemonstrasi secara damai harus dihormati sepenuhnya”. Melalui panggilan telepon, Utusan Khusus PBB, Christine Schraner Burgener, memperingatkan bahwa gelombang protes yang terjadi “kemungkinan akan memiliki konsekuensi yang parah”.
Peringatan tersebut datang pada Senin (15/2), dengan wakil kepala junta militer Soe Win, kata seorang juru bicara PBB. Utusan khusus itu menekankan bahwa pemadaman internet merusak hak dan prinsip berdemokrasi.
Dikutip dari BBC, pemerintah junta telah secara teratur memblokir internet untuk membungkam kritik masyarakat luas sejak kudeta pada 1 Februari.
Gelombang protes terjadi di seluruh Myanmar, dengan mendorong pegawai negeri untuk bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil di kota utama Yangon. Sebelumnya, otoritas militer mengumumkan hukuman keras bagi mereka yang menentang para pemimpin kudeta.
Junta mengatakan pihaknya menggulingkan para pemimpin terpilih, termasuk juru kampanye demokrasi lama, Aung San Suu Kyi, karena dugaan kecurangan dalam pemilu. Meski tak ada bukti apa pun untuk mendukung klaim itu.
Penutupan akses internet ditujukan untuk membatasi pergerakan oposisi yang terus berlanjut terhadap kudeta dan penahanan para pemimpin, termasuk Suu Kyi, secara telak memenangkan pemilu pada November 2020 lalu.
Akses Facebook diblokir, di mana kampanye pengoordinasian terjadi secara masif melalui situs tersebut. Termasuk penggunaan Twitter dan Instagram juga diblokir.
Para aktivis yang menyerukan pembangkangan sipil khawatir bahwa pemerintah junta juga akan melakukan pemadaman listrik untuk menangkap lebih banyak orang.
Sementara penyedia telekomunikasi utama Telenor mengatakan tidak akan lagi memperbarui daftar gangguan internet di situsnya. Ia mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa situasinya “membingungkan dan tidak jelas” dan mengatakan bahwa keselamatan karyawan adalah “prioritas utama”.
Dalam serangkaian aksi protes yang muncul, kehadiran militer resistan di banyak lokasi strategis, tentara menggantikan polisi. Di Yangon, kendaraan lapis baja beroda delapan terlihat berusaha melewati jalanan saat demonstran menyerukan penentangan terhadap kudeta.
Pada Senin (15/2), protes dipusatkan pada Gedung Bank Sentral,Kedutaan Besar AS dan China, dan Markas Besar Kota Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi.
Seorang aktivis mahasiswa terkemuka, Myo Ko Ko, mengatakan kepada BBC mengapa dia dan yang lainnya bersedia mempertaruhkan nyawa mereka.
“Kami sangat percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia. Kami tahu itu berisiko. Saya harus pindah ke tempat lain hari demi hari karena digeledah oleh polisi. Kami berharap masyarakat internasional membantu kami," pinta Myo Ko.
Mahasiswa juga melakukan protes di Ibu Kota Naypyitaw. Puluhan ditangkap meski kemudian dibebaskan. Para demonstran menuntut pembebasan pemimpin terpilih mereka, termasuk Suu Kyi, dan pemulihan demokrasi di Myanmar.
Tetapi junta telah mengancam hukuman penjara dan denda bagi siapa pun yang terbukti menghasut kebencian terhadap militer, “dengan kata-kata, baik lisan atau tertulis, atau dengan tanda, atau dengan representasi yang terlihat”.
Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di situs web militer pada Senin disebutkan, orang-orang yang mencegah pasukan keamanan menjalankan tugas mereka dapat menghadapi hukuman 20 tahun penjara. Sementara mereka yang menimbulkan ketakutan atau keresahan di depan umum dapat dipenjara selama tiga hingga tujuh tahun.
Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, telah lama dianggap sebagai negara paria saat berada di bawah kekuasaan junta militer yang menindas dari 1962 hingga 2011
Liberalisasi bertahap dimulai pada 2010, yang mengarah pada pemilihan bebas pada 2015 dan pelantikan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin oposisi veteran Aung San Suu Kyi pada tahun berikutnya.
Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon