Yang Perlu Diketahui Perihal Serangan Turki ke Suriah
Ahad, 13 Oktober 2019 | 21:00 WIB
Damaskus, NU Online
Turki melancarkan serangan militer ke wilayah Suriah bagian timur laut. Serangan tersebut terjadi beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kalau pasukannya akan meninggalkan wilayah perbatasan tersebut.
Ratusan warga Suriah meninggalkan wilayah perbatasan dengan Turki tersebut ketika rentetan serangan udara dan tembakan artileri menghantam wilayah Suriah Utara tersebut. Merujuk CNN, Jumat (11/10), Tal Abyad di Suriah Utara dan kota perbatasan Ras al-Ain menjadi salah satu yang ditargetkan Turki.
Berikut beberapa hal yang perlu diketahui perihal serangan Turki ke Suriah:
Alasan Turki menyerang
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, operasi tersebut dimaksudkan untuk mencegah teroris dan membentuk zona aman guna memulangkan pengungsi Suriah.
“Tujuan kami adalah untuk menghancurkan koridor teror yang berusaha didirikan di perbatasan selatan kami dan untuk membawa perdamaian ke wilayah tersebut,” tulis Erdogan di akun Twitternya.
Kelompok yang diserang Turki tersebut dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang mana pimpinannya adalah orang Kurdi. Turki menilai, Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah berperang melawan Turki selama lebih dari tiga dekade.
Turki sangat tidak senang dengan kehadiran Kurdi yang kuat di Suriah Timur Laut, dekat dengan perbatasan Turki. Trump yang menarik pasukan AS dari wilayah tersebut menjadi lampu hijau bagi Turki untuk menyusun rencananya, yaitu menciptakan zona penyangga di Suriah Utara.
Turki tidak hanya menginginkan pasukan Kurdi hengkang dari wilayah tersebut, tapi juga ingin menampung 2 juta pengungsi Suriah di sana.
Yang terjadi di Suriah baru-baru ini
Suriah tengah memasuk fase baru yang digambarkan sebagai ‘konsolidasi’ setelah mengalami perang saudara yang menghancurkan selama beberapa tahun terakhir. Dengan bantuan Iran dan Rusia, pasukan militer Suriah berhasil mengalahkan militan yang hendak mengkudeta Presiden Bassar al-Assad.
Pada saat yang bersamaan, AS yang berkoalisi dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), dan pada batasan tertentu dengan pasukan Iran dan Rusia, juga berhasil mengambil wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai ISIS.
Meski sudah tidak memiliki wilayah, ISIS diyakini masih memiliki ribuan militan yang bersembunyi di Irak dan Suriah. Di samping itu, SDF juga menahan ratusan pejuang asing ISIS—kebanyakan dari Eropa- di penjara-penjara yang dikuasainya di Suriah Utara.
Trump memperingatkan akan melepas para tahanan ISIS jika negara-negara Eropa tidak mengambil balik warganegara mereka. Sekarang Trump mengatakan kalau Turki bertanggung jawab atas pejuang ISIS yang ditangkap tersebut.
Reaksi SDF
Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipimpin orang Kurdi, marah dengan keputusan Trump yang menarik pasukan AS dari wilayah tersebut. Menurutnya, itu akan membahayakan keamanan regional dan mempertaruhkan orang-orang yang tinggal di wilayah itu. Mereka berjanji akan mempertahankan wilayah yang mereka rebut dari ISIS tersebut.
Sebelum serangan itu diumumkan, Administrasi Otonomi Suriah Utara dan Timur (juga dikenal sebagai Administrasi Kurdi di Suriah Timur Laut) memobilisasi warga untuk mempertahankan wilayah itu dari serangan Turki.
Pada hari Rabu lalu, SDF menangguhkan operasinya melawan ISIS hanya untuk berfokus menghadapi serangan Turki.
“Kami melakukan yang terbaik untuk memberikan keamanan di penjara dan di kamp-kamp (ISIS), (tetapi) dengan invasi Turki kami dipaksa untuk menarik beberapa pasukan kami dari penjara dan dari kamp-kamp ke perbatasan untuk melindungi rakyat kita,” kata juru bicara SDF, Mustafa Bali.
Shervan Darwish, juru bicara Dewan Militer Manbij Suriah—yang merupakan koalisi SDF- memperingatkan bahwa serangan Turki akan ‘memberikan dorongan moral bagi sel tidur ISIS dan akan menciptakan kekosongan yang akan dimanfaatkan ISIS.’
Reaksi dunia
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendesak Turki—yang notabennya anggotanya- untuk menahan diri dan memastikan tindakan yang dilakukan di Suriah Timur Laut proporsional dan terukur.
“Kita tidak boleh membahayakan pencapaian yang telah kita buat melawan musuh kita bersama, ISIS. Karena ISIS terus menjadi ancaman besar bagi Timur Tengah dan Afrika Utara, dan bagi semua bangsa kita,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, Rabu lalu.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga meminta Erdogan ‘untuk mempertimbangkan situasi dengan hati-hati agar tidak merusak upaya keseluruhan untuk menyelesaikan krisis Suriah.’
Sedangkan Menteri Pertahanan AS Mark Esper mendesak Turki agar menghentikan serangan-serangan militernya di wilayah Suriah Timur Laut sebagai langkah awal untuk gencatan senjata. Dikatakan, akan ada ‘konsekuensi serius’ jika Turki terus melancarkan operasi militernya di wilayah tersebut.
Namun, Erdogan menegaskan kalau Turki tidak akan menghentikan operasinya terhadap pasukan Kurdi. “Sekarang ada ancaman-ancaman yang datang dari kanan dan kiri, menyuruh kami untuk menghentikan ini. Kami tak akan mundur,” kata Erdogan, diberitakan AFP, Sabtu (12/10).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, sekitar 130.00 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di wilayah Tel Abyad dan Ras al-Ain, akibat dari serangan Turki terhadap Kurdi di Suriah. Jumlah itu dilaporkan bisa bertambah hingga tiga kali lipat.
Observatorium HAM untuk Suriah mencatat, serangan Turki ke Suriah menewaskan 14 orang, termasuk lima warga sipil, dan melukai 10 lainnya pada Ahad (13/10), seperti diberitakan Reuters.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Aryudi AR