Jateng

Hari Santri 2025, NU Blora Buka Pameran Arsip Sejarah Perjuangan Santri dan Ulama

Rabu, 22 Oktober 2025 | 12:00 WIB

Hari Santri 2025, NU Blora Buka Pameran Arsip Sejarah Perjuangan Santri dan Ulama

Pameran foto dalam rangka Hari Santri 2025 di Blora

Blora, NU Online

Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) dan Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Blora, Jawa Tengah, membuka pameran foto dan arsip sejarah bertajuk Santri Blora Chronicles, di Blora Creative Space (BCS)/Gedung GNI, pada Sabtu (19/10/2025).


Pameran tersebut menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Santri 2025 sekaligus merupakan upaya menyalakan kembali ingatan kolektif warga NU Blora terhadap perjuangan santri dan ulama pada dekade 1960 hingga 1970-an.


Dalhar Muhammadun, inisiator kegiatan sekaligus peneliti utama, menyebut pameran ini sebagai hasil riset historiografi selama hampir satu tahun.


Menurutnya, pameran ini bukan hanya ruang pamer arsip dan foto lama, tetapi juga medium untuk menghadirkan kembali emosi sejarah kepada publik.


“Riset ini tidak boleh berhenti di ruang akademik. Foto dan dokumen yang kami tampilkan membuat kita ikut merasakan emosi puluhan tahun lalu,” ujar Dalhar, sebagaimana dikutip NU Online Jateng


Ia menegaskan, literasi pesantren tak hanya hidup di ruang baca, tetapi juga dalam ekspresi budaya, mulai dari seni kaligrafi, pertunjukan kesenian santri, hingga pengarsipan sejarah.


“Kami tak bisa berjalan sendiri. Terima kasih atas dukungan PCNU, lembaga, banom, BPH, Baznas, dan Haji Amin,” tambahnya.


Ketua PCNU Blora HM Fatah menyampaikan kekagumannya terhadap kerja riset yang berhasil mengungkap dokumen-dokumen penting NU di masa lalu.


“Saya benar-benar tersedot ke masa itu, padahal belum ada narasinya. Dari foto saja saya bisa merasakan semangat perjuangan NU,” ungkapnya.


Senada, Wakil Ketua Lesbumi PWNU Jawa Tengah Abdul Khamim menilai bahwa pameran ini sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini.


Ia menekankan, literasi bukan hanya kemampuan menulis dan membaca, melainkan juga memahami dan menghidupkan kembali warisan peradaban.


“Budaya adalah roh peradaban. Pameran ini menjadi cara untuk merawat roh tersebut,” ujarnya.


Baca selengkapnya di sini