Pesantren Ramah Anak di Tulungagung, Eksis sejak Tahun 80-an
Jumat, 14 Oktober 2022 | 17:00 WIB
Tulungagung, NU Online Jatim
Pesantren ramah anak belakangan ini kembali hangat dibincangkan selepas rentetan dugaan perundungan hingga aksi kekerasan di pondok pesantren. Di Tulungagung, ada satu pesantren khusus anak yang berdiri di era 1980-an dan tetap eksis hingga kini.
Ia adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin (PPHM) Taman Kanak-kanak Al-Qur'an Asrama Sunan Giri yang didirikan oleh Almaghfurlah KH Muhammad Ali Shodiq Umman. Di masa awal berdiri, pesantren ini satu-satunya pondok anak yang juga menyediakan sekolah formal setingkat Sekolah Dasar (SD).
Awal kedatangan NU Online Jatim merasakan suasana haru. Mengingat, di usia belia mereka sudah memilih jauh dari orang tua untuk mencari ilmu. Saat itu, menjelang matahari tergelincir anak-anak sedang asyik bermain layangan di halaman pesantren yang luas.
"Santri mukim terbanyak terjadi pada tahun 2004, hampir 400 santri. Kalau sekarang hanya 131 santri putra dan putri. Segmen pendidikannya mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SD," ujar Kepala Pondok, Agus Ghulam Al Aufa saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.
Pria yang juga Direktur Media Pondok Ngunut ini menambahkan, wilayah asal santri cukup beragam. Mulai dari Tulungagung, Trenggalek, Blitar dan bahkan dari wilayah luar Pulau Jawa, seperti Riau, Kalimantan, Batam, hingga Medan.
“Latar belakang orang tua memondokkan anaknya sejak usia belia cukup beragam. Beberapa karena orang tuanya menjadi tenaga kerja di luar negeri, sehingga memilih memondokkan anaknya supaya pendidikannya lebih terjaga,” jelasnya.
Di pesantren ini, lanjutnya, juga menerapkan kurikulum pendidikan sebagaimana yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jadwal kegiatan santri dimulai pukul 04.00 WIB pagi untuk mandi dan shalat Subuh jamaah. Pasca itu mereka mengerjakan tugas-tugas dari sekolah hingga pukul 06.30 WIB.
“Selanjutnya, pukul 07.00 WIB mulai masuk sekolah formal yang diawali dengan shalat Dhuha berjamaah, wiridan, hingga baca Juz Amma. Kemudian istirahat pukul 11.30 WIB yang dilanjutkan dengan makan siang. Makanannya pakai sayur biar ada protein dan memenuhi standart gizi,” ucapnya.
Memasuki waktu siang para santri diwajibkan tidur. Baru kemudian pukul 14.45 WIB dibangunkan untuk mandi dan persiapan shalat Ashar berjamaah. Selanjutnya, diniyah sorogan dengan baca Al-Qur'an sampai pukul 16.30 WIB.
“Pasca itu mereka istirahat. Waktu ini biasanya dimanfaatkan para santri dengan bermain dan berjajan. Kemudian mereka melakukan persiapan shalat Maghrib berjamaah. Di malam hari bagi santri TPQ melakukan belajar bersama dan santri yang diniyah mengaji kitab Ta'lim Muta'allim hingga pukul 21.00 WIB dan dilanjutkan tidur malam,” katanya.
“Setiap hari rutinitas santri seperti itu, kecuali hari Kamis dan Jum'at ada waktu libur dan diperkenankan untuk sekadar melihat program televisi kartun beberapa saat sebelum aktif kembali,” imbuh Gus Ghulam.
Sanksi bagi santri bersifat mendidik
Alumnus Sastra Inggris Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang ini mengaku, sanksi atau hukuman bagi santri yang melanggar tidak ada yang melukai fisik. Semua jenis sanksi diarahkan kepada hal yang bersifat mendidik, seperti membersihkan kamar mandi, membaca Al-Qur'an hingga yang paling berat dipulangkan sementara.
"Biasanya sepekan hingga dua pekan sekali kami berkoordinasi dengan orang tua santri, kalau selalu melanggar terpaksa kita pulangkan. Kita usahakan pemberitahuan kepada orang tua dilakukan tertulis, agar orang tua mengetahui pelanggaran dan jenis hukuman anaknya," katanya.
Pria yang saat ini tengah menempuh pendidikan magister di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung ini menuturkan, hambatan dalam mengurus anak kecil di pesantren masih dalam tahap wajar. Biasanya karena tidak kerasan karena berada di lingkungan baru dan ingat orang tua.
"Paling rewel biasa, kalau faktor ingat orang tua itu paling sering menangis. Setelah itu kalau sudah akrab dengan teman-temannya akan normal kembali," pungkasnya.