Amankah Infus Pemutih Kulit? Ini Kajian dari Farmasi dan Thibbun Nabawi
Senin, 22 Januari 2024 | 20:00 WIB
Kulit yang putih dan cerah menjadi dambaan wanita di berbagai penjuru dunia. Bagi yang terobsesi, segala cara dilakukan untuk memutihkan kulit badan. Tak cukup dioles, produk pemutih kini tersedia untuk disuntikkan langsung ke pembuluh darah yang dikenal dengan infus whitening atau infus pemutih. Metode infus ini cukup unik karena menjadi tren baru di kalangan wanita dan efeknya yang cepat dan menyeluruh ke banyak bagian tubuh.
Penyedia layanan kecantikan mendapatkan banyak konsumen dari bisnis infus whitening ini. Tidak hanya wanita dewasa, tetapi remaja putri juga mulai banyak yang mencoba infus whitening. Lalu, apakah produk-produk pemutih kulit dengan model infus itu aman untuk kesehatan? Bagaimana kajian farmasi dan thibbun nabawi mengungkapkan aspek keamanan produk ini?
Kaidah farmasi mengenai jalur penggunaan obat infus menyatakan beberapa pertimbangan mendasar. Salah satunya, suatu terapi yang diberikan secara infus intra vena dilakukan bila jalur pemberian lainnya tidak memungkinkan. Alasan lainnya adalah tidak mampu mengonsumsi produk melalui mulut, membutuhkan efek yang cepat, dan memerlukan efek yang sistemik di seluruh tubuh karena keperluan darurat.
Masalahnya, pengguna infus whitening itu sebenarnya masih bisa menggunakan terapi dengan jalur lainnya seperti suplemen yang diminum atau dioles. Oleh karena itu, alasan yang dimungkinkan hanyalah karena menginginkan efek pemutihan yang cepat dan simultan di berbagai bagian tubuh. Dengan kata lain, efek instan merupakan tujuan utama para pengguna infus whitening sehingga diberikan langsung ke dalam pembuluh darah.
Di sisi lain, penggunaan infus whitening ternyata menggunakan dosis yang cukup besar sehingga efeknya relatif kuat. Padahal dalam kaidah farmasi, apabila tidak mendesak sebaiknya tidak menggunakan dosis yang besar. Pemutihan kulit secara instan bukanlah keperluan mendesak sehingga hendaknya mengikuti kaidah farmasi tersebut.
Kaidah ini relevan dengan konsep thibbun nabawi. Al-Hafiz Adz-Dzahabi menuliskan kaidah tentang penggunaan obat di dalam kitabnya:
“Apabila mungkin untuk menggunakan obat yang lunak, janganlah menggunakan sesuatu yang lebih keras. Jika ternyata obat yang lunak itu tidak berguna barulah pakai obat yang keras.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 64-65)
Infus termasuk dalam kategori obat keras. Meskipun berisi vitamin dan suplemen makanan, apabila dibuat dalam bentuk infus maka kategorinya di Indonesia menjadi obat keras. Sebagai contoh, infus yang hanya berisi garam maupun zat gula di Indonesia diberi logo lingkaran merah dengan huruf K di tengahnya yang artinya obat keras. Demikian pula apabila suatu zat lain yang sederhana seperti vitamin C diberikan secara suntikan, maka akan diberi logo obat keras.
Karena efeknya yang tidak permanen, maka pengguna cenderung memakai infus whitening secara berulang. Meskipun isinya hanya vitamin dan suplemen, penggunaan yang berulang melalui infus memerlukan perhatian khusus. Selain masuk langsung ke pembuluh darah, besarnya dosis yang digunakan untuk memberikan efek yang diinginkan membuat infus perlu untuk diperhatikan lebih dari suplemen makanan.
Masalah dosis inilah yang membuat infus berbeda dengan suplemen biasa yang dikonsumsi melalui mulut. Sebagaimana kaidah dalam pengobatan, perbedaan antara makanan, obat, dan racun terletak pada dosisnya. Makanan bisa menjadi obat bila diberikan dengan dosis yang memenuhi syarat untuk pengobatan. Demikian juga vitamin dan suplemen nutrisi bisa menjadi obat keras pada dosis yang besar dan bila cara pemberiannya melalui infus.
Cara pemberian infus yang menyerupai obat dengan kemurnian kandungannya juga membuat infus whitening ini lebih mendekati sifat obat. Umumnya, infus ini terdiri dari 2 macam bahan yaitu vitamin C dan Glutathion. Selain itu, ada bahan lain yang ditambahkan untuk berbagai keperluan seperti pelarut atau penstabil keasaman.
Kemurnian super tinggi vitamin C dan glutation yang dibentuk menjadi infus whitening tentu berbeda dengan kemurnian bahan makanan. Sayuran maupun makanan dari bahan hewani yang mengandung Vitamin C atau Glutation pasti mengandung bahan alami lainnya. Bahan alami lainnya itu justru bermanfaat untuk meminimalkan efek samping dari vitamin C maupun glutation asli yang berasal dari bahan makanan.
Sebagai contoh ketika seseorang mengonsumsi satu butir buah jeruk yang kaya akan vitamin C maka sebenarnya tidak hanya mendapatkan vitamin C dalam bentuk tunggal. Jeruk yang dimakan memberikan banyak mineral lain seperti Magnesium, Kalsium, gula dan asam-asam alami, serta senyawa lain yang berkhasiat karena efeknya yang akan membuat kondisi tubuh menjadi alkalis.
Kondisi alkalis adalah suasana basa yang merupakan lawan dari suasana asam. Apabila jeruk mengandung vitamin C atau asam askorbat, maka berpotensi menimbulkan peningkatan asam lambung dan keasaman darah. Namun, karena dalam buah jeruk mengandung senyawa lain yang alkalis, efek samping tersebut akan dicegah sehingga menurunkan resiko bahayanya bagi tubuh.
Adanya zat lain yang dapat mengantisipasi efek samping dalam bahan alami disebut dengan Side Effect Eliminating Substances (SEES). Vitamin C yang ada dalam buah jeruk yang sudah masak relatif aman bagi lambung. Hal inilah yang tidak dijumpai dalam obat buatan manusia yang berisi zat murni. Oleh karena itu, tidak jarang dokter akan menunda pemberian infus whitening apabila pasiennya memiliki riwayat penyakit lambung.
Efek lain dari obat keras yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah memperberat kerja hati. Hati merupakan organ yang memetabolisme obat maupun nutrisi sehingga menjadi lebih mudah dikeluarkan dari tubuh apabila sudah tidak diperlukan. Apabila suatu zat kimia baik dari obat maupun makan masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, maka kerja hati untuk mengolah dan membuangnya juga semakin berat.
Pemberian glutation sebagai pemutih kulit yang digunakan secara intravena pernah menimbulkan gangguan hati (Mahmod, 2022, The Effectiveness of Glutathione on Skin Lightening: A Review, International Journal of Medical Sciences, Volume 5, Nomor 2: Halaman 5-16). Sebanyak 8 dari 32 pasien yang mendapatkan infus glutation dengan maksud memutihkan kulit ternyata mengalami kelainan pada fungsi hati atau livernya (Zubari dkk, 2016, Efficacy of Intravenous Glutathione vs. Placebo for Skin Tone Lightening, Journal of Pakistan Association of Dermatologists, Volume 26, Nomor 3: halaman 177-181).
Berdasarkan pertimbangan keamanan dan manfaat yang telah diuraikan, selayaknya penggunaan infus whitening tidak dilakukan tanpa indikasi yang kuat. Remaja yang masih dalam usia pertumbuhan hendaknya juga tidak mengambil upaya instan dengan mengikuti tren infus whitening agar organ tubuhnya seperti liver tidak terbebani. Orang dewasa yang ingin menggunakannya juga hendaknya berkonsultasi dengan dokter maupun apoteker karena sejatinya infus whitening adalah obat keras. Wallahu a’lam bis shawab.
Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi