Yuhansyah Nurfauzi
Kolomnis
Menjadi dokter adalah kebanggaan bagi sejumlah orang. Tetapi pernahkah terbayang menjadi dokter di daerah perang? Di tengah gempuran senjata, mereka harus berjuang untuk menyelamatkan jiwa manusia. Itulah gambaran sekilas kondisi yang dihadapi oleh para dokter di Gaza, Palestina.
Sesungguhnya gambaran pekerjaan mereka jauh lebih mengerikan dari itu. Israel telah membunuh ribuah warga Gaza dengan cara yang brutal sehingga dokter-dokter yang menjadi saksi mata pun sepakat bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di sana. Bagaimana bila mereka kehabisan sarana penunjang saat bekerja? Apakah mungkin pengetahuan klasik dari Thibbun Nabawi memberikan manfaat pada situasi seperti itu?
Sebagian besar korban meninggal dunia di Gaza adalah warga sipil yang merupakan wanita dan anak-anak. Mereka meninggal di bawah reruntuhan bangunan yang dibom Israel atau karena luka parah yang mereka derita akibat serangan senjata pemusnah nyawa. Di antara luka yang banyak terjadi pada korban yang parah adalah luka bakar yang tidak pernah dilihat oleh para dokter saat bertugas di medan perang lainnya.
Rupanya Israel menggunakan bom dengan daya ledak tinggi dan menghasilkan kebakaran hebat. Apabila ditembakkan ke arah bangunan maka tidak hanya membuat bangunan itu rata dengan tanah tetapi juga terbakar. Tidak terbayangkan apabila bom model ini mengenai tubuh manusia yang sangat rentan. Selain luka menganga, luka bakar pun akan menjadi menjadi penyulit yang dihadapi oleh para dokter yang merawatnya.
Penderitaan rakyat Gaza ditambah dengan blokade yang mereka alami selama bertahun-tahun. Blokade ini berlanjut bahkan di saat bantuan internasional dikerahkan untuk memasuki Gaza dari daerah perbatasan. Padahal saat itu mereka membutuhkan bantuan kebutuhan pokok termasuk obat-obatan. Terhalangnya pasokan bantuan medis ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan karena banyak nyawa melayang dan terlambat ditangani.
Menyadari situasi darurat seperti itu, dokter bedah di Gaza harus memutar otak di tengah ancaman Israel yang dapat membom rumah sakit sewaktu-waktu. Tempat para dokter bekerja di Gaza terbukti telah diancam dan diserang oleh Israel dengan bom. Oleh karena itu, mereka harus berjibaku menyelamatkan jiwa orang lain di samping melindungi dirinya sendiri. Hal ini ditambah dengan kesulitan pasokan obat untuk menangani pasien di rumah sakit.
Salah satu bahan obat yang sangat vital dalam situasi perang di Gaza adalah larutan pembersih luka. Larutan ini sangat berguna di saat operasi bedah akibat patah tulang, rusaknya jaringan, maupun luka bakar. Selain membersihkan area yang sakit, larutan ini berfungsi untuk mencegah infeksi karena luka yang tidak dibersihkan berisiko terkontaminasi bakteri. Bila infeksi terjadi, luka yang menjadi sumber awal penyakit bisa melebar dan bahkan bakterinya bisa menyebar ke seluruh tubuh.
Kelangkaan larutan pembersih inilah yang terjadi di rumah sakit-rumah sakit Gaza. Oleh karena itu, dokter bedah di sana menggunakan wawasannya untuk memanfaatkan bahan lain dengan efek serupa. Seorang ahli bedah plastik dari London utara bernama Ghassan Abu Sittah yang bekerja di Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza mengatakan kepada bahwa dia sekarang menggunakan cuka untuk mengobati beberapa infeksi bakteri, karena larutan yang dia gunakan sebelumnya sudah habis.
Menurutnya, keterlambatan dalam memasukkan pasien ke ruang operasi sangat berisiko bagi pasien. Di saat para dokter benar-benar kewalahan, mereka mulai melihat pasien dengan luka yang terinfeksi. Salah satu infeksi itu disebabkan oleh bakteri Pseudomonas. Saat darurat seperti itulah, kreativitasnya muncul dan mencari bahan lain sebagai pengganti larutan pembersih luka.
Ada banyak pengobatan untuk luka infeksi itu. Tapi, salah satu pengobatan klasik untuk itu adalah cuka. Karena petugas medis di sana sudah kehabisan semua perawatan lainnya, Beliau keluar dan membeli beberapa botol cuka untuk merawat pasien-pasien ini sementara sambil tetap berusaha membawa mereka ke ruang operasi. (Laman BBC)
Ternyata cuka yang digunakan oleh dokter di Gaza telah disebutkan dalam at-Thibbun Nabawi. Al-Hafiz Adz-Dzahabi menyebutkan cuka di dalam kitabnya sebagai berikut:
“Cuka memiliki sifat elemen panas dan dingin, tetapi sifat dinginnya lebih besar. Cuka baik untuk peradangan...Salah satunya sangat baik digunakan pada luka yang terjadi di kulit akibat infeksi seperti herpes, scabies, dan luka bakar.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, At-Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyaul Ulum: 1990 M], halaman 115)
Dalam catatan kaki kitab itu juga disebutkan bahwa cuka telah dikenal oleh dokter Arab dan bangsa Arab sebagai media pengobatan. Palestina merupakan salah satu bangsa Arab dan dokter yang bekerja di Gaza juga banyak yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan khas bangsa Arab. Oleh karena itu ketika dokter bedah di sana menggunakan cuka untuk luka korban perang, itu merupakan bagian penerapan dari Thibbun Nabawi yang telah diketahui oleh bangsa Arab melalui ulama Islam.
Penggunaan cuka untuk luka diperkuat oleh sejarah penanganan luka akibat wabah. Seorang ulama ahli kedokteran Islam bernama Ibn Khatimah memperkenalkannya sebagai obat luka yang ditimbulkan oleh wabah black death. Ketika wabah maut hitam merebak, para dokter menggunakan cuka sebagai salah satu komponen pencuci ketika membersihkan pembuluh darah yang terinfeksi (Cambra, 2013, Some Pharmaceutical Recipes for the Treatment of the Bubonic Pest Contined into the Kitab at-Tahsil of Ibn Khatima [D.1369], Advances in Pharmacology and Pharmacy 1(2): halaman 85-87).
Cuka yang dikenal secara tradisional dapat dibuat dari buah-buahan seperti apel dan kurma. Namun seiring dengan perkembangan zaman, saat ini banyak cuka yang dibuat dari bahan-bahan nabati lainnya. Dalam bahasa Inggris, cuka dikenal dengan nama vinegar. Kandungan kimia yang ada pada cuka adalah asam asetat yang rumus kimianya CH3COOH.
Dalam situasi normal, ada obat-obat golongan antibiotik yang digunakan untuk mengobati dan mencegah terjadinya infeksi. Keberadaan antibiotik ini seakan merupakan kewajiban pada tindakan operasi maupun penanganan luka. Oleh karena itu, apabila obat jenis antibiotik ini langka atau habis karena banyaknya kasus operasi, maka situasinya menjadi berbahaya bagi korban-korban berikutnya.
Selain antibiotik, operasi untuk luka korban perang yang mengalami patah tulang juga memerlukan alat kesehatan pendukung. Dokter di Gaza juga menambahkan bahwa mereka juga kehabisan peralatan bedah yang digunakan untuk menstabilkan patah tulang pada cedera traumatis. Dengan kondisi tersebut, selayaknya umat Islam dari seluruh penjuru dunia tergerak untuk memberikan bantuan obat dan peralatan medis dalam rangka membantu dokter dan rakyat di Palestina. Wallahu a’lam bis shawab.
Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua