Cerita Ketua PDNU yang Dijuluki Terkun, Dokter Plus Dukun
Kamis, 5 Agustus 2021 | 09:30 WIB
Jakarta, NU Online
Muhammad S Niam, mungkin tak pernah mengira setelah berprofesi sebagai dokter dapat bernostalgia kembali dengan beberapa amalan khas pesantren, seperti hizb, rajah (azimat), dan suwuk. Pasalnya, hal itu oleh sebagian pihak dianggap sangat kontradiktif dengan ilmu kedokteran yang bersifat saintifik berdasarkan petunjuk-petunjuk ilmiah.
Namun, di tangan Niam kedua hal itu dapat berjalan beriringan bahkan mendatangkan kebermanfaatan lebih dari yang ia duga.
Suwuk adalah salah satu pengobatan tradisional melalui rapalan doa-doa yang diucapkan oleh si pengobat. Karena itu, suwuk layak dipertahankan sebagai warisan budaya yang nilainya tiada tara. Menurut Niam, kekebalan tradisi ini juga mempengaruhi dunia pengobatan dan kesehatan seperti masih percayanya peranan dukun di era saat ini.
Pengalaman itu ia rasakan sendiri sewaktu bertugas di ujung Timur Pulau Madura, yakni Sumenep. Saat itu, didapatinya seorang pasien yang tengah hamil hendak melahirkan, tetapi mendapati kesulitan karena sang jabang bayi tak kunjung memberi tanda-tanda akan keluar.
Maka dengan inisiatif ia memberikan air doa untuk diminum oleh ibu tersebut dan tak menunggu lama upaya yang dilakukannya berhasil. Walhasil sejak saat itu ia pun mendapat julukan baru dari warga di sana, yaitu terkun atau dokter plus dukun.
"Jadi saya di Sumenep itu, Kiai Sabit dulu menjuluki saya terkun, ya dokter, ya dukun," kata Dokter Niam pada sesi berbagi dalam rapat Redaksi NU Online, Senin (2/8/2021).
Dokter Niam menyatakan bahwa buntut dari pelabelan tersebut membuat para pasien yang datang berobat kepadanya bukan sekadar ingin diperiksa lalu diberikan resep obat untuk ditebus. Melainkan juga meminta bonus air yang sudah dirapalkan doa-doa oleh dia, yang diyakini membuat pasien bisa sembuh dengan cepat.
Selain itu, ada juga beberapa pasien yang sekadar meminta saran untuk melakukan pengobatan di tempat alternatif. Namun, sayangnya ia tidak bisa dengan asal menjabarkan keakuratan pengobatan alternatif kepada pasiennya. Pasalnya, hal itu sangat jelas tidak ada kaitannya dengan kaidah ilmiah.
Kendati demikian, sebagai dokter yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, ia hanya bisa berujar bahwa pengobatan jenis apa pun pada dasarnya harus disertai dengan keyakinan kepada Allah SWT. "Karena kesembuhan itu dari Allah dan bisa melalui apa saja," tutur Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) itu.
Alasan atas penyataan dilematis itu karena menurutnya, ia tidak dapat melarang, juga merekomendasikan pasiennya untuk mendatangi tempat pengobatan alternatif. Sebab, bisa saja dari sana mereka merasakan manfaat bagi kesembuhan penyakit yang dideritanya. Kecuali, bilamana praktik itu diketahui malah mencelakakan dan membuat mudarat pasiennya, maka itu jelas-jelas harus dilarang.
"Walaupun dari seribu ada dua yang sudah kerasa, ya monggo (silakan). Saya tidak pernah melarang tapi juga tidak mau menganjurkan," tegasnya.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan