Kesehatan

Penggunaan Narkotika Medis dalam Khazanah Islam Klasik

Rabu, 13 Juli 2022 | 17:02 WIB

Penggunaan Narkotika Medis dalam Khazanah Islam Klasik

Di Indonesia, ganja termasuk narkotika yang peredarannya dilarang. Hanya institusi tertentu seperti perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pendidikan di bidang obat atau farmasi yang diperbolehkan memilikinya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Baru-baru ini, berita tentang ganja sedang naik daun di Indonesia. Minyak biji ganja disebut-sebut bermanfaat untuk penyakit tertentu sehingga dibahas oleh wakil rakyat bersama pakar dan masyarakat. Di beberapa negara lain, penggunaan ganja telah dilegalkan untuk kepentingan medis dan nonmedis.


Di Indonesia, ganja termasuk narkotika yang peredarannya dilarang. Hanya institusi tertentu seperti perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pendidikan di bidang obat atau farmasi yang diperbolehkan memilikinya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.


Narkotika merupakan zat kimia dari tanaman tertentu yang dapat menghilangkan kesadaran dan menimbulkan ketergantungan. Oleh karena itu, penggunaannya sangat dibatasi agar tidak disalahgunakan. Untuk keperluan pengobatan atau medis, penggunaannya diperbolehkan dengan kriteria tertentu. Hanya dokter tertentu yang dapat meresepkannya untuk pasien yang memiliki penyakit-penyakit khusus.


Banyak obat turunan narkotika di Indonesia yang sampai dengan saat ini masih digunakan seperti codein, morfin, dan obat-obat anestesi (obat bius). Obat-obat turunan opium (dari getah tanaman Papaver somniferum)  tersebut masih digunakan karena ada aspek manfaat yang besar ketika digunakan untuk kepentingan medis. Namun, ada juga narkotika yang dilarang penggunaannya, bahkan untuk kepentingan medis di Indonesia. Seluruh bagian tanaman ganja adalah jenis narkotika yang masuk dalam kategori larangan ketat ini. 


Narkotika sebenarnya sudah sejak dahulu digunakan untuk keperluan medis. Bahkan dalam sejarahnya, dokter dan ilmuwan muslimlah yang mencatat penggunaan narkotika dalam kitab-kitabnya. Meskipun menuliskan narkotika sebagai bagian dari penyembuhan, tetapi ilmuwan dan dokter muslim itu tetap memberikan catatan khusus untuk mewaspadai efek negatif dari narkotika.


Ibnu Sina menuliskan tanaman jenis ganja (Cannabis sativa Linn) dalam kitabnya, Al-Qanun fit-Thibb, sebagai berikut:


“Biji Cannabis sativa bersifat karminatif, pengering, dan sulit dicerna. Obat itu menghasilkan kondisi perasaan yang berbahaya dan sangat menghangatkan. Biji yang dipanggang kurang berbahaya. Gula-oksimel menghilangkan efek berbahayanya. Bijinya dikatakan menghasilkan banyak gas sehingga dapat menimbulkan perut kembung.” (Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina, Al-Qanun fit-Thibb Book II, Jamia Hamdard, New Delhi, 1998: halaman 373)


Berdasarkan kutipan di atas, Ibnu Sina menjelaskan aspek khasiat yang dikehendaki dan efek yang tidak dikehendaki dari Cannabis sativa sebagai obat. Efek samping yang tidak dikehendaki dari obat tersebut memang tidak terjadi pada setiap orang dan dapat muncul pada dosis terapi, tetapi apabila muncul maka dapat menimbulkan efek yang berbahaya.


Pada kategori obat yang sering muncul efek sampingnya, Ibnu Sina tetap menuliskan aspek bahayanya secara jujur. Oleh karena itu, Ibnu Sina juga menuliskan langkah-langkah untuk mengurangi kemungkinan munculnya bahaya pada suatu obat, misalnya dengan dicampur gula atau oksimel. Secara khusus, biji ganja yang menjadi sumber minyak juga diungkap bahayanya oleh Ibnu Sina sebagai berikut:


“Ekstrak dan minyaknya digunakan dalam otalgia (nyeri pada telinga). Bijinya menyebabkan sakit kepala karena sifat pemanasan dan penguapannya yang intensif,” (Ibnu Sina, 1998: 373).


Aspek bahaya dari ganja sebagai obat juga diungkapkan oleh sumber ilmiah kefarmasian dari Amerika Serikat. Di negara yang melegalkan ganja sebagai obat ternyata juga melaporkan penyakit yang dapat timbul akibat penggunaan resep ganja.


Dalam buku “Drug-Induced Diseases: Prevention, Detection, and Management,” dua orang apoteker sekaligus editor buku tersebut yang bernama Tisdale dan Miller mengungkapkan bahwa ganja yang diresepkan oleh dokter dapat menyebabkan tingginya gangguan kecemasan. Tingkat kecemasan akibat penggunaan ganja itu ditentukan oleh dosisnya, baik ketika digunakan berdasarkan resep dokter untuk pengobatan maupun ketika pengobatan itu dihentikan, (Tisdale dan Miller, 2005, Drug-Induced Diseases: Prevention, Detection, and Management, American Society of Health-System Pharmacists, Maryland: halaman 219).


Hampir sama dengan ganja, opium yang dibuat menjadi berbagai macam obat seperti morfin dan codein juga sebenarnya memiliki banyak efek negatif. Opium juga dapat dibuat menjadi obat dengan campuran bahan lain agar efeknya dapat bertahan dalam jangka panjang. Teknologi formulasi mencampur obat seperti ini telah dikenal dalam kitab Thibbun Nabawi yang ditulis oleh Al-Hafiz Adz-Dzahabi.


Ketika menceritakan tentang obat-obat gabungan, Al-Hafiz Adz-Dzahabi menceritakan bahwa para dokter ada yang mencampurkan opium dengan bahan-bahan lainnya sebagai berikut:


“Mereka mencampur opium dalam campuran sirup atau pasta yang mengandung gula atau madu dan air yang banyak supaya kekuatan obat terjaga dalam jangka waktu yang panjang.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: halaman 209)


Hal itu menunjukkan bahwa opium merupakan komponen yang kecil dari campuran bahan obat lainnya. Dosis yang kecil itu merupakan upaya untuk mengatur agar tidak muncul efek opium yang tidak diinginkan atau apabila efek negatifnya juga muncul maka akan minimal.


Kewaspadaan terhadap efek negatif opium juga disadari oleh Ibnu Sina. Di dalam kitab Al-Qanun fit-Thibb, Ibnu Sina membahas efek negatif opium ketika menyebut opium sebagai obat penenang dan pereda nyeri sebagai berikut:


“Opium mengganggu pemahaman akal dan mengganggu kemampuan intelektual atau kecerdasan,” (Ibnu Sina, 1998: 70).


Berdasarkan keterangan dari efek negatif opium, maka tidak heran bila pendahulu Ibnu Sina, yaitu Ar-Razi telah mengingatkan bahayanya. Ar-Razi menyatakan bahwa meskipun opium bisa digunakan untuk obat anestesi dan obat batuk kronis, pada dosis tertentu bisa berefek mematikan. (Ghazal dkk, 2007, The Valuable Contributions of Al-Razi [Rhazes] in the History of Pharmacy, Foundation for Science Technology and Civilisation, United Kingdom: halaman 7)


Apabila dikaji secara komprehensif, ilmuwan dan para dokter muslim telah membahas narkotika dalam kitab-kitabnya dengan berimbang. Dari sisi ilmiah, mereka mendudukkan masalah yang proporsional bahwa ganja maupun opium dan narkotika lainnya dapat digunakan sebagai obat. Namun, obat dari narkotika ternyata memiliki potensi efek negatif yang besar sehingga dapat berakibat fatal.


Apabila dilihat deri potensi ketergantungan yang ditimbulkan sehingga memicu penyalahgunaan, maka perlu ada alternatif solusi selain meninjau kembali aspek legalitasnya.


Penyakit-penyakit yang bisa diobati dengan narkotika ada yang bisa diobati dengan obat lainnya. Obat lain yang dimaksud tentu yang lebih aman dibandingkan dengan narkotika. Banyak obat dari bahan alami lain yang lebih aman juga telah ditulis oleh para ulama dan ilmuwan Islam dalam kitab-kitab pengobatan Islam klasik. Sudah selayaknya umat muslim mengajinya sehingga tidak hanya berfokus pada keriuhan pro dan kontra tentang narkotika sebagai obat, tetapi melupakan solusi lainnya.


Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti dalam bidang farmasi


Terkait