Lingkungan

Aktivis Lingkungan: Menjaga Alam dan Seisinya adalah Ajaran Agama

Jumat, 15 Mei 2020 | 13:30 WIB

Aktivis Lingkungan: Menjaga Alam dan Seisinya adalah Ajaran Agama

null

Jakarta, NU Online
Aktivis Lingkungan Joe Priastana mengaku heran, di antara banyaknya pemeluk agama di Indonesia belum sadar  betapa pentingnya merawat alam dan melestarikan lingkungan. Padahal, dalam ajaran agama mana pun sudah sangat jelas menjaga alam, menjaga hutan, fauna dan tumbuh-tumbuhan merupakan bagian dari ajaran agama. 

Luasnya lahan dan hutan yang rusak akibat perusakan lingkungan harus menjadi evalusi bersama oleh seluruh masyarakat sebagai pemeluk agama. Bagi seorang aktivis ekologis seperti dirinya, merawat alam merupakan bagian dari ritual ibadah yang sakral dan wajib dilaksanakan. 

Karena, itu dia terheran-heran jika kesadaran warga masih rendah terkait menjaga bumi yang saat ini kita tempati ini. 

"Misalnya refleksi dalam ajaran Buddha, untuk melakukan ibadat itu harus berpusat kepada tri ratna. Tri ratna ini adalah buddha, darma, dan sanghaa. Apa itu dharma? Dharma itu adalah esensi dari alam semesta ini. Katakanlah bahwa manifestasi dharma adalah alam itu sendiri dan alam ini bekerja melalui hukum-hukum yang terkandung di dalam penemuan Sang Buddha yang dikatakan sebagai darma," kata  Joe Priastana saat menjadi narasumber Webinar yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Indonesia Consortium for Religius Studies (ICRS), Jumat (15/5). 

Pada Webinar yang mengangkat tema ‘Merawat Alam sebaai Ibadah’ tersebut, Joe mengungkapkan, seluruh kejadian yang terjadi pada alam semesta ini tidak semuanya dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan semata. 

Sebab, dalam ajaran agama terutama agama Budha, segala sesuatu itu saling interaksi, terkoneksi, berpenetrasi dan berhubungan satu sama lain. Tidak bisa dibuktikan dalam sudut pandang yang tunggal. 

Sehingga keyakinan dan pemahaman agama seseorang diperlukan untuk mengkaji lebih dalam bagaimana peranan agama dan umat manusia kepada lingkungan hidup. 

“Contoh mengadakan seminar ini,  karena adanya fenomena saling terhubung ini yang sifatnya anorganik, yang menghasilkan hukum-hukum fisika, mekanika dan penemuan-penemuan saintifik, sehingga semuanya terjadi,” terangnya menegaskan. 
 
Pernyataan Joe Priasatana ini merespon tingginya dampak kingkungan akibat kebakaran hutan di Indonesia. Jika menengok lagi data di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan BRG Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan selama 2019 mencapai 857.756 hektar. 
 
Rinciannya adalah seluas 630.451 hektar lahan mineral dan 227.304 hektar lahan gambut. Kemudian, total luasan terdiri dari 66.000 hektar di hutan tanaman industri (HTI), 18.465 hektar hutan alam, 7.545 hektar restorasi ekosistem (RE), dan 7.312 hektar di areal pelepasan kawasan hutan. Terbanyak di wilayah yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN yang sudah bersertifikat, seluas  110.476 hektar.

Sementara itu berdasarakan sebaran wilayah, antara lain, Aceh 680 hektar, Bengkulu 11 hektar, Bangka Belitung 3.228 hektar, dan Kepulauan Riau 6.124 hektar, Jambi 39.638 hektar, Lampung 6.560 hektar, Riau 75.871 hektar, Sumatera Barat 1.449 hektar, Sumatera Selatan 52.716 hektar, Sumatera Utara 2.416 hektar.

Lalu, Kalimantan Barat 127.462 hektar, Kalimantan Selatan 113.454 hektar, Kalimantan Tengah 134.227 hektar, Kalimantan Timur 50.056 hektar, dan Kalimantan Utara 2.878 hektar. 

Selain itu, Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa total kerusakan dan kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun 2019 mencapai lebih dari US$ 5,2 miliar. Angka ini setara dengan 0,5 persen produk domestik bruto (PDB) negara.

Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan terutama di areal gambut masyarakat diminta meningkatkan kesadarannya terkait pelestarian lingkungan. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan gambut menjadi lahan hijan dan lahan pertanian produktif. 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori 
Editor: Kendi Setiawan