Wasekjen MUI Pusat Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga, Nyai Hj Badriyah Fayumi. (Foto: Dok. istimewa)
Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga Nyai Hj Badriyah Fayumi mengungkapkan dua hal penting yang perlu disiapkan untuk merencanakan pernikahan. Dua hal itu adalah kemampuan (istitha'ah) dan persiapan (isti’dad) yang baik sebagai prasyarat.
"Istitha'ah tidak hanya fisik dan finansial, tapi juga mental, emosional, sosial, juga spiritual. Sudah pasti istitha'ah yang demikian tidak bisa diemban oleh anak-anak dan mereka yang belum dewasa," ujar Nyai Badriyah kepada NU Online, Rabu (9/8/2023).
Selanjutnya isti’dad (persiapan dan kesiapan) pranikah, yang menurutnya tidak cukup hanya dengan mapan dari segi finansial belaka. Pasangan yang merencanakan pernikahan harus mempersiapkan mental mengemban tanggung jawab perkawinan, kesiapan memenuhi janji, menjaga kesucian, dan kehormatan akad yang sudah mengikat, antara lain dengan tidak selingkuh, tidak KDRT, dan tidak poligami.
"Tidak cukup hanya dengan punya pekerjaan dan bisa membuat walimah yang meriah. Yang lebih penting adalah kesiapan suami istri kesiapan menjalankan relasi sehari-hari yang ma'ruf, kesiapan menghadapi dan menyelesaikan masalah perkawinan yang akan terus datang sepanjang waktu dengan cara yang ma'ruf, serta kesiapan menghadapi keadaan hidup yang pasang surut," jelas dia.
Kedua hal itu, terang dia, membutuhkan pasangan yang sevisi dan saling menguatkan. Untuk itu kafa'ah (kesetaraan) diperlukan. Bukan semata kafa'ah dari sisi latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan, melainkan juga kafa'ah dalam cara pandang dan cara berelasi.
Tujuannya tak lain agar kedua pasangan sama-sama memiliki kemampuan dan kesiapan yang setara, saling terhubung, dan satu frekuensi dalam menjalani dan membawa keluarga, untuk terus berjalan dan berkembang menuju cita-cita membentuk khaira ummah (umat terbaik).
"Dengan kafa'ah yang demikian insyaallah pasangan suami istri (pasutri) akan memiliki ketangguhan sepanjang usia perkawinan," terang Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadits Kota Bekasi, Jawa Barat itu.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah menjelaskan isti’dad yang memerlukan soliditas dan solidaritas pasutri secara terus menerus dan ditopang kemampuan membangun mawaddah dan rahmah dalam pernikahan. Ia mengakui bahwa hal tersebut tidak cukup mudah untuk dipraktikkan secara instan, apalagi bagi pasangan yang dijodohkan, namun tanpa kedua hal tersebut maka cita-cita membangun keluarga sakinah akan sulit terwujud.
"Yang demikian tentu sulit dipenuhi jika dua orang yang menikah dikawinkan secara paksa. Tanpa cinta. Tanpa kafa'ah yang hakiki. Keluarga sakinah tidak terwujud, apalagi keluarga yang membawa maslahah yang lebih luas," jelas mufasir perempuan asal Pati, Jawa Tengah itu.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada setiap pasangan yang merencanakan pernikahan untuk melakukan pendekatan secara serius dari berbagai sisi, tidak hanya dari sisi agama tapi juga psikologi, kesehatan, sosial, finansial, dan lainnya.
"Calon mempelai memerlukan hal itu sebelum membangun keluarga," tegas Ketua Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.
Ia mengajak kepada para generasi muda untuk membekali diri dengan istitha'ah dan isti’dad yang kaaffah sebelum menikah, memperhatikan kafa'ah yang hakiki sebelum menikah, serta menjaganya agar kafa'ah terus ada sepanjang perkawinan.
"Sehingga keluarga yang dijalani akan sakinah dalam relasi internalnya dan maslahah dalam relasi eksternalnya, yang menjadi tiang utama terwujudnya khaira ummah," tandas Nyai Badriyah.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI