2 Keputusan Penting Masyumi saat Dipimpin Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari
Rabu, 12 Juli 2023 | 23:00 WIB
Menko Polhukam Prof Mahfud MD bercerita tentang peran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam memimpin Masyumi. (Foto: Dok Humas Pendis)
Lamongan, NU Online
Sebelum merdeka, terdapat organisasi yang menghimpun ormas Islam, yakni Masyumi yang dipimpin Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari. Dalam kepemimpinannya, Masyumi membuat dua keputusan penting dalam upaya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia pada Februari 1945.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD dalam Halaqah Ulama Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Rabu (12/7/2023).
Pertama, Masyumi memutuskan untuk membentuk Hizbullah sebagai kelompok tentara tenaga-tenaga dari kalangan rakyat untuk melawan penjajah. Kedua, Masyumi memutuskan untuk mendirikan sekolah Islam.
“Hizbullah menjadi cikal bakal tentara pejuang kita,” kata Prof Mahfud.
Sementara, sekolah tinggi Islam yang dicanangkan itu resmi berdiri di Gondangdia dengan membuat dua fakultas, yaitu keislaman dan sosiologi. Ketika pemerintah pindah ke Yogyakarta akibat desakan penjajah yang datang kembali dengan alasan keputusan Wina, sekolah tinggi Islam ini pindah juga ke tempat yang sama dengan kedudukan pemerintah saat itu.
Hal ini mengingat keberadaan pimpinan kampus tersebut, yakni Moh Hatta, yang juga di tempat tersebut. Sekolah tinggi itu kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.
“Itu adalah kreasi Kiai Hasyim Asyari diwujudkan pada Juli 1945,” ujar pria kelahiran 66 tahun yang lalu itu.
Hal itu, menurutnya, menjadi satu bukti kebesaran peranan pesantren dalam mewujudkan dan menjaga visi kemerdekaan Indonesia.
“Dengan demikian, kalangan pesantren memberikan sumbangan besar terhadap bangsa ini ketika akan merdeka dalam menyiapkan kader bangsa,” tuturnya.
Namun, karena politik pendidikan yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif atau fobi, maka pada waktu itu sesudah Indonesia merdeka, banyak pejuang pesantren dan Islam tidak tertampung di tugas pemerintahan dari negara baru ini.
“Pesantren kembali ke pesantren untuk mendidik lagi anak-anak muda Islam. Tetapi, ada juga yang marah,” cerita Mahfud.
Sebab, mereka merasa telah berjuang tetapi tidak bisa mendapatkan porsi yang sama, baik untuk menjadi tentara ataupun duduk di kantor pemerintahan. Kaum santri ini tidak memiliki ijazah sekolah yang dijadikan sebagai syarat dalam kedudukan tertentu. Tak pelak, dari situ, muncul sosok seperti Kartosuwiryo yang marah kemudian mendirikan Darul Islam.